zaterdag 16 mei 2009

LPK65 IKUT BERDUKA CITA

LPK65 IKUT BERDUKA CITA

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland beserta seluruh anggotanya menyatakan berduka cita mendalam atas berpulangnya Bp. Sumargo - mantan buruh di perusahaan minyak Caltex di Pakan Baru dan ketua bagian data DPP LPR KROB, pada hari Rabu, 12 Mei 2009

Kami para korban pelanggaran HAM 1965 merasa kehilangan besar atas berpulangnya Bp. Sumargo yang dengan gigih berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan di Indonesia.

Semoga arwah almarhum diterima Allah SWT dengan segala kasih sayangNya. Dan semoga keluarga besar Bp. Sumargo dikaruniai ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi situasi tersebut. Mudah-mudahan barisan LPR KROB tetap tegap maju berderap dalam kiprah perjuangannya. Amin, amin dan amin.

Nederland, 16 Mei 2009

MD Kartaprawira (Ketua Umum)
Suranto Pronowardoyo (Sekretaris I)




----- Forwarded Message ----
From: S. Utomo
To: Y.T.Taher
Cc: ... md kartaprawira ; Lembaga PembelaKorban65 ;
Sent: Thursday, May 14, 2009 9:10:57 AM
Subject:


B e r i t a D u k a



Telah meninggal dunia : Bapak Sumargo di Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta Timur.

Pada hari Rabu, 12 Mei 2009. Setelah menderita sakit paru-paru.

Jenazah di bawa pulang kerumah duka Jl. Timbel – Ciganjur, Jakarta Selatan dan dimakamkan hari Kamis tengah hari.

Almarhum mantan buruh di perusahaan minyak Caltex di Pakan Baru , Riau, Sumatera dan menjadi korban keganasan kup. Jendral Suharto pada tahun 1965.

Beliau adalah ketua bagian data DPP LPR KROB.

Semoga arwah beliau diterima disisi Tuhan sesuai dengan darma baktinya selama hidupnya dan seluruh keluarganya diberi Nya ketabahan.



DPP LPR KROB

dinsdag 5 mei 2009

Keluarga Korban HAM mendesak Komnas HAM mengumumkan Para Pelaku

Jawa Pos, Selasa, 05 Mei 2009

Keluarga Korban HAM mendesak Komnas HAM Mengumumkan Para Pelaku

JAKARTA - Sejumlah keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia mendesak Komnas HAM mengumumkan para pelaku dugaan pelanggaran tersebut. Itu terkait dengan makin dekatnya suksesi kepemimpinan di negeri ini.

"Seharusnya Komnas (HAM) berani memublikasikan kalau ada calon yang sebenarnya tidak layak maju memimpin negeri ini," ujar Sumiarsih, ibu Bernadus R.N. Irmawan, korban Tragedi Semanggi I, saat melakukan audiensi dengan komisioner Komnas HAM di kantornya, Jakarta, kemarin (4/5).

Menurut dia, publikasi Komnas HAM penting untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa ada calon yang sebenarnya tidak layak. Secara terbuka, dia menyebut nama Wiranto dan Prabowo Subianto. "Mata masyarakat biar terbuka, komnas harus proaktif," tambahnya.

Dalam kesempatan itu, para keluarga korban tersebut juga menyerahkan secara simbolis buku berjudul Akhirnya Korban Bicara. Keluarga korban pelanggaran HAM lainnya yang ikut serta saat itu, antara lain, Nurhasanah (kasus penculikan dan penghilangan paksa), Ruminah (kasus TSS), Amang dan Ruyati Darwin (kasus Mei 1998), Benny Biki (kasus Tanjung Priok), serta Bedjo Untung dan Effendy Saleh (korban Tragedi 1965/1966).

"Publikasi ini sangat penting, publik harus tahu kita mendukung pemerintahan yang demokratis. Masyarakat tentu juga disentuh hatinya. Jika memilih pelanggar HAM sebagai presiden, itu merupakan hal yang menyakiti hati korban pelanggaran HAM," tambah Suciwati, istri almarhum Munir. (dyn)

maandag 27 april 2009

MD Kartaprawira: PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM

PENYELENGGARA NEGARA INDONESIA TAK BERNYALI DALAM PENEGAKAN HAM
(Kasus Fujimori - bahan kajian banding kasus pelanggaran HAM di Indonesia)

Oleh MD Kartaprawira*)

Pada tanggal 08 April 2009 Alberto Fujimori, mantan presiden Peru oleh Pengadilaan Lima (ibu kota Peru) dijatuhi hukuman 25 tahun penjara karena terbukti bersalah dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi di Peru pada tahun 1990-an yang menewaskan 25 orang (menurut Komisi Rekonsiliasi 40 orang), yaitu pembunuhan di suatu kawasan kota Lima pada tahun 1991, yang menewaskan 15 orang dan di Universitas La Cantuta pada tahun 1992 yang menewaskan seorang dosen serta 9 mahasiswa diculik dan dibunuh.

Seperti diketahui di akhir masa jabatannya sebagai presiden Peru Fujimori pulang ke Jepang sebagai usaha untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yuridis (korupsi dan pelanggaran HAM) yang menyangkut dirinya. Tapi karena dia merasa pendukungnya di Peru masih cukup kuat, dia berusaha kembali lagi ke panggung politik, maka dari itu dia pada bulan Nopember 2005 terbang ke Cili sebagai transit ke Peru untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Ketika dia mendarat di Cili ditangkap oleh alat keamanan Cili, karena dianggap terlibat masalah pelanggaran HAM tahun 1960-an dan masalah korupsi. Atas permintaan pemerintah Peru cq. Menteri luar negeri Oscar Maurtua, Mahkamah Agung Cili menyetujui ekstradisi mantan presiden Peru Alberto Fujimori ke Peru. Seperti telah disinggung di atas akhirnya oleh Pengadilan Lima Fujimori dijatuhi hukuman 25 tahun penjara.

KASUS Fujimori tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kajian banding kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Bagaimana penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia? Sesungguhnya sudah berkali-kali oleh para peduli HAM didengung-dengungkan di media massa, seminar dan pertemuan-pertemuan lainnya tentang keharusan penguasa Indonesia menuntaskan masalah tersebut di atas. Wajarlah pada waktu kekuasaan Orde Baru/Suharto rakyat tidak mungkin bicara tentang pelanggaran HAM, apalagi melakukan tuntutan. Tidak hanya karena rejim tersebut tidak akan sukarela membiarkan dirinya diadili, tetapi juga karena rejim “tukang gebuk” tersebut akan melibas siapa saja yang menentangnya.

Tetapi yang sangat mencengangkan dan tidak masuk akal sehat adalah ketidak berdayaan penyelenggara negara (cq. Pemerintah) di era “reformasi” menangani pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Tidak ada satu pun penguasa yang terbuka hatinuraninya untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada hal sudah banyak konvensi internasional dan hukum internasional lainnya yang diratifikasi oleh Indonesia sehingga menjadi bagian dari perundang-undangan Indonesia, sudah dibuat UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM ad Hoc, bahkan di dalam UUD 1945 (Amandemen) sudah dimuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. Di samping itu juga sudah dibentuk suatu institusi KOMNASHAM, yang praktis hanya sebagai alat pembantu formal dalam menangani masalah HAM. Meskipun demikian kasus pelanggaran HAM berat berkaitan peristiwa 1965 sama sekali macet total. Bahkan ada dugaan bahwa memang ada pihak-pihak yang sengaja memacetkan, yang dapat ditebak siapa yang menjadi factor pemacet tersebut. Kalau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diberi wewenang yang sangat kuat dalam pemberantasan korupsi, mengapa KOMNASHAM hanya diberi wewenang yang kecil sekali, hampir-hampir tidak ada arti dan gunanya, hanya sebagai institusi “pajangan” saja. Kalau kejaksaan dan kepolisian tidak diaktifkan menangani masalah pelanggaran HAM, seharusnya KOMNASHAM diberi wewenang yang besar (seperti wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi) sehingga bisa melakukan investigasi yang hasilnya bisa dijadikan alat bukti di dalam proses pengadilan HAM.

Proses pengadilan di Peru pun tidak begitu mulus, juga ada pro dan kontra. Tetapi akhirnya proses pengadilan kota Lima pada 08 April 2009 yang lalu berhasil menjatuhkan vonis 25 tahun penjara terhadap Fujimori. Jumlah korban pelanggaran HAM kasus Fujimori yang hanya 25 orang (Komisi Rekonsiliasi menyebut 40 orang) adalah tidak sebanding dengan korban pelanggaran HAM berkaitan peristiwa 1965 yang jutaan orang. Ternyata sedikit atau banyaknya jumlah korban tidak menjadi penghalang terlaksananya proses pengadilan dan penegakan keadilan. Semuanya tergantung pada kepedulian dan kemauan politik penyelenggara negara (terutama Presiden dan DPR).
Korban pelanggaran HAM di era Orde Baru, di mana jutaan orang dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di berbagai penjara bertahun-tahun lamanya, ribuan orang diculik, dihilangkan secara paksa dan lain-lainnya, sampai sekarang sepertinya dianggap tidak ada apa-apa. Inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi tentang praktek penggelapan keadilan di Indonesia yang jelas bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila dan kaidah hukum HAM nasional maupun internasional.
Oleh karenanya tepatlah suatu pertanyaan: mengapa di Indonesia kasus pelanggaran HAM berat 1965 yang sudah berjalan 40 tahun tidak mendapat penanganan sama sekali? Apakah penegak hukum di era reformasi sama sekali kehilangan rasa kemanusiaan dan keadilan?

Adalah suatu kenyataan bahwa keadilan di Republik Peru bisa ditegakkan setelah kejaksaan berhasil menghadapkan Fujimori ke pengadilan dan mendapatkan vonis 25 tahun penjara tanpa bantuan dari PBB seperti halnya kasus pelanggaran HAM di Yugoslavia dan Rwanda. Di sinilah bedanya penegakan keadilan di Peru dan Indonesia dalam masalah HAM. Boleh terus terang dan terbuka mengatakan bahwa penyelenggara negara Indonesia tidak/belum berbuat apa-apa untuk menegakkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berkaitan peristiwa 1965. Justru tampak proses pengadilan dibendung rapat-rapat dengan akibat terus dipeliharaanya impunity berlaku di Indonesia. Dan hal itu tercermin di dalam UU KKR yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena cacat hukum, di mana merupakan kompromi antara dua titik pandang “pro dan kontra” impunity.

Pengalaman di Peru menunjukkan bahwa penegakan HAM tergantung kepada kemauan politik penyelenggara negara bersangkutan dalam komitmennya menegakkan keadilan dan ketegasan pelaksanaan hukum nasional di Peru sendiri, bahkan bukan internasional. Tanpa merendahkan peranan hukum internasional, kenyataannya hukum internasional tidak akan berlaku di sesuatu negara kalau tidak diratifikasi lebih dulu berdasarkan system hukum di negara bersangkutan. Dewasa ini sudah banyak hukum HAM internasional yang diratifikasi oleh parlemen Indonesia, tapi kenyataannya pelaksanaannya dalam praktek kehidupan masih saja tidak berjalan.

Penegak hukum di Indonesia, terutama Kejaksaan Agung dan jajarannya seharusnyalah memegang peranan kunci dalam penegakkan keadilan dan hukum berkaitan masalah-masalah HAM. Tapi kenyataannya macet total, tidak berpotensi. Masalah-masalah HAM yang sesungguhnya derajat kwalitasnya lebih serius dibandingkan dengan kejahatan biasa malah diterbengkelaikan tanpa penanganan. Sebaliknya penyelenggara negara malah mempersulit dengan prosedur berbelit-belit melibatkan KOMNASHAM (yang wewenangnya sangat terbatas) dan DPR.

Keputusan pengadilan Lima dalam kasus Fujimori patut diacungi jempol sebagai keberhasilan usaha-usaha penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Peru, yang di Indonesia masalah-masalah tersebut belum pernah dituntaskan oleh penyelenggara negara (cq. Pemerintah atas nama negara), kapan pun dan siapa pun.
Seperti diketahui presiden Peru Alejandro Toledo, setelah terpilih jadi presiden tahun 2001 segera melakukan langkah-langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan penguasa sebelumnya (Fujimori), yaitu pertama-tama meminta maaf kepada para korban dan sanak keluarganya. Dalam pesan yang disiarkan ke seluruh negeri, Toledo menegaskan bahwa kebijakannya tersebut dilakukan atas nama negara dan ditujukan kepada para korban dan sanak-keluarganya, baik yang mati mau pun yang hilang, dan ribuan lainnya yang disiksa atau kehilangan tempat tinggalnya.
Dan hal tersebut juga merupakan keberhasilan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk pada tahun 2001 oleh pemerintahan Toledo untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan Peru maupun gerilyawan Jalur Bersinar.

Ketika rejim Orba/Suharto masih berkuasa, tentu saja para korban tidak mungkin bermimpi akan adanya pengakuan pelanggaran HAM berat dan dengan demikian permintaan maaf olehnya kepada para korban dan sanak keluarganya. Tapi kini sudah berjalan 10 tahun era “reformasi”, toh penyelenggara negara tidak ada yang secara jantan dan transparant menegakkan kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya dan oleh karenanya atas nama negara meminta maaf kepada para korban beserta keluarganya. Hanya presiden Adurrachman Wachidlah satu-satunya yang mengucapkan minta maaf, meskipun tidak jelas atas nama siapa: atas nama negara, atas nama presiden, atas nama NU (sebab pembunuhan di Jawa Timur melibatkan Pemuda Ansor), atas nama pribadi? Tidak jelas! Kalau atas nama Presiden atau atas nama Negara haruslah dengan prosedur resmi/formal, legal dan transparant.

Di Indonesia jelas awan tebal masih belum bergeser sehingga memberi cahaya terang bagi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965.

Nederland, 27 April 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland
mdkartaprawira@gmail.com
lbgpk65@yahoo.ca
http://lembagapembelakorban65,blogspot.com

vrijdag 20 maart 2009

Harsutejo: PROF DR BOB HERING DAN SEJARAH 1965

PROF DR BOB HERING dan SEJARAH 1965
Ikut berdukacita atas kepergian sejarawan tersebut, semoga jejak langkahnya dapat kita pelajari bersama. Dapat saya sampaikan bahwa saya penerjemah karya beliau "Soekarno - Founding Father of Indonesia (1901-1945)" , Leiden 2002. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi 1901-1945", diterbitkan oleh Hasta Mitra 2003. Saya tambahkan bahan penerjemahan tersebut berasal dari print out komputer penulisnya yang belum diedit oleh KITLV yang dikirimkan kepada Bung Joesoef Isak ketika belum terbit di negeri Belanda.Buku yang telah terbit tersebut merupakan bagian pertama dari biografi yang ditulisnya, sedang bagian keduanya berjudul “Soekarno – The Presidential Years, August 17, 1945 – June 21, 1970”. Ketika sedang menerjemahkan buku di atas saya juga menerima dari Bung Joesoef bagian keduanya yang baru meliputi “Prologue” dan “Chapter One” (yang tidak lengkap) sebanyak 38 halaman. Ketika itu Pak Bob Hering sedang menyelesaikan karyanya itu, tapi kemudian dalam keadaan sakit-sakitan. Bung Joesoef pernah menyatakan kepada saya ia pesimis beliau akan dapat menyelesaikannya.Sebagai penerjemah bukunya (buku yang sebelumnya saya terjemahkan, “MH Thamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941”) saya dapat merasakan betapa almarhum Prof Dr Bob Hering telah melakukan penelitian sangat luas dan mendalam terhadap segala macam dokumen di berbagai negeri, mewawancarai ratusan orang dekat Bung Karno, kawan dan lawannya serta pihak-pihak yang mengenalnya atau pernah kontak dengan BK di sepanjang hidup BK, orang Indonesia maupun asing. Dari situ dapat saya simpulkan almarhum tentunya juga telah melakukan penelitian luas seputar tragedi 1965, utamanya yang berhubungan dengan BK.Mengingat pentingnya buku bagian kedua yang meliputi sejarah tragedi 1965, maka kepada teman-teman di negeri Belanda khususnya, juga kepada Pak Jaap Erkelens dari KITLV yang lama berdinas di Jakarta, saya himbau untuk dapat melacaknya. Jika belum selesai ditulis, barangkali ada pihak yang dapat meneruskannya (?). Beliau menyatakan bahan-bahannya telah lengkap.

Bekasi, 21 Maret 2009
Salam,
Harsutejo.-

Sumber: Milis Nasional (nasional-list), 21.03.2009 21:09

LPK'65: SELAMAT JALAN BP. PROF. DR. BOB HERING!

SELAMAT JALAN BP. PROF. DR BOB HERING!

Seluruh anggota dan pendukung Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK’65), Nederland, turut mengucapkan duka cita mendalam atas meninggalnya Bp. Prof. DR. Bob Hering, tanggal 18 Maret 2009 di kota Stein (Limburg, Nederland).

Sebagai indonesianist semasa hidupnya Bp. Bob Hering banyak mencurahkan tenaga dalam penilitian sekitar biografi politik Soekarno. Kwalitas keilmuan almarhum tidak diragukan, sehingga keobyektifan tulisannya yang berorientasi Indonesia mengenai Soekarno terjamin pula. Inilah yang membedakan dengan para indonesianist lainnya yang berorientasi Barat, di mana tulisan-tulisannya tak luput dari subyektifisme- politik dengan arah memojokkan dan mendiskreditir Soekarno.

Bp. Bob Hering bahkan menghormati dan mengagumi tokoh politik nasional dan internasional Soekarno. Pembentukan Yayasan Soekarno, di mana almarhum sendiri sebagai Ketuanya sampai akhir hayatnya, merupakan satu cerminan dari hal tersebut di atas. Bagi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda adalah suatu kenangan yang membanggakan ketika almarhum menghadiri Peringatan 100 Tahun Bung Karno di Amsterdam, Nederland dengan memakai kursi roda dan didampingi Ibu Netty Hering. Padahal jarak antara Amsterdam dan Stein memakan waktu berjam-jam perjalanan dengan mobil.

Karya-karya Bp. Bob Hering akan melengkapi khazanah sejarah politik Soekarno. Dan Bangsa Indonesia layak berterima kasih karenanya. Semoga arwah Bp. Bob Hering diterima Tuhan YME dengan limpahan kasih sayangNya. Dan semoga Ibu Netty dan keluarga besar Bob Hering tetap sabar dan tabah menghadapi peristiwa tersebut. Sekali lagi kami ucapkan duka cita yang mendalam.

Selamat jalan Bpk. Prof. DR. Bob Hering, jasa-jasamu kami kenang!

Nederland, 20 Maret 2009

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK’65), Nederland
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

donderdag 19 maart 2009

Asvi warman Adam: TRAGEDI TANPA AKHIR

Kompas, 18.09.2004
TRAGEDI TANPA AKHIR
Asvi Warman Adam

Tragedi 1965 perlu dilihat sebagai konsekuensi permusuhan komunis dengan Islam sejak 1948. Tahun 1965/1966 kelompok Islam bersekutu dengan Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya jatuh korban cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Persiapan menyongsong pemilu 1955 memperuncing keadaan, fatwa komunisme identik dengan ateisme dikeluarkan Masyumi akhir 1954 di Surabaya. Sebelumnya Isa Anshary membentuk Front Anti Komunis di Jawa Barat (Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, 2004). Tahun 1960-an kekuasaan terpusat pada tiga pilar, PKI, Angkatan Darat dengan Soekarno di puncak piramida. PKI kian di atas angin. Kiprah politik mereka dilukiskan Arbi Sanit, Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2000). Konflik budaya tampak pada DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya, 1995. Sementara "aksi sepihak" diuraikan Aminuddin Kasdi (Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, 2001), Soegianto Padmo (Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, 2000) dan Fadjar Pratikto, Gerakan Rakyat Kelaparan di Gunung Kidul, 2000). Pada akhir era demokrasi terpimpin ada upaya menulis sejarah dari perspektif kiri. Untuk mengantisipasi ini, tahun 1964 Nasution membentuk Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata, cikal bakal Pusat Sejarah ABRI. 30 September 1965 meletus gerakan kecil yang berdampak sangat besar. Sedari 1 Oktober 1965, Yoga Soegama sudah yakin ini pemberontakan PKI. Menurut hemat saya, tragedi 1965 merupakan trilogi, pasca G30S terjadi pembantaian ½ juta jiwa dan pembuangan ke pulau Buru (1969-1979). Mengenai peristiwa G30S hanya versi tunggal yang diajarkan sekolah. Buku-buku lain dilarang, seperti terbitan ISAI Bayang-Bayang PKI, 1995. Selain PKI dan "Biro Chusus", dalang lainnya adalah Angkatan Darat, pihak asing (CIA dll), Soekarno dan Soeharto (kudeta merangkak). Buku-buku terlarang itu beredar pasca Soeharto seperti Cornel Paper (Ben Anderson dkk). Selain disertasi Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, juga terbit suntingan Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa/Bali 1965/1966. Tentang pulau Buru selain Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pram, terdapat beberapa kesaksian, yang terakhir Memoar Pulau Buru (Hersri Setiawan). Selain melalui pendidikan --dengan Buku Putih dan SNI suntingan Nugroho Notosusanto - untuk legitimasi kekuasaan, militer juga memanfaatkan monumen dan museum (disertasi Kate McGregor, Universitas Melbourne, 2002).Tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto (Budi Irawanto, Hegemoni militer dalam sinema Indonesia, 1999.Sejarah korbanBila sebelumnya sejarah demi penguasa, kini muncul tulisan dari perspektif korban. Dalam hal ini sejarah lisan sangat berperan karena membuat korban bersuara. Dua buku paling menonjol, Tahun yang tak pernah berakhir, Menghayati Pengalaman Korban 1965, 2004 dan Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965, 2003.Buku pertama sangat monumental, 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Maka terungkaplah pola penangkapan/ pembantaian setelah 1 Oktober 1965. Seluruhnya melanggar hukum, tidak satu pun dilengkapi surat perintah resmi. Tidak terbayang derita batin para korban. Perempuan mendadak jadi kepala keluarga dan tak luput dari perkosaan bergulir. Puluhan sketsa menggambarkan siksaan sadis di penjara. Buku kedua sangat menyentuh perasaan. Kehancuran keluarga --adakah yang lebih menyakitkan dari itu ? -menimpa hampir semua korban. Selain itu ada buku tipis, Usaha untuk Tetap Mengenang,Kisah-kisah Anak-anak Korban Peristiwa 65, 2003. Tema ini juga menjadi bahan skripsi di UI (Toeti Kakiailatu, 1984), UGM (Sriwahyuntari, Kromo Kiwo, 2004) dan Undip (Triyana, Kasus Pembantaian Massal PKI di Grobogan, 2004). Karya pengarang kiri banyak beredar, antara lain diterbitkan Pustaka Jaya. Ratna Sarumpaet mementaskan drama Anak Kegelapan, dilengkapi dengan vcd. Berita terbaru, Leontin Dewanga, kumpulan cerpen Martin Aleida - sebagian tentang derita korban 1965 -- menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa 2004 pada 1 Oktober 2004.Komunisme dan IslamDisertasi Budiawan di National University of Singapore diterbitkan berjudul Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto.Rekonsiliasi lebih mudah bila kelompok kiri mengingat juga peristiwa sebelum G30S (aksi sepihak dll) dan sebaliknya kalangan Islam mengingat pula peristiwa sesudah G30S (termasuk pembantaian massal 1965/1966, dst). Selama ini kedua pihak hanya mengenang hal-hal yang merugikan mereka. Budiawan sengaja mengulas dua memoar tokoh Islam kiri, Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis dan Haji Ahmadi Mustahal, Dari Gontor ke Pulau Buru. Sebelumnya telah terbit dua skripsi tentang tokoh Digulis Haji Misbach serta pemberontakan Komunis-Islam di Banten (Michael Williams) dan Silungkang (Mestika Zed). Peristiwa Kanigoro, Kediri, dikisahkan dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, 1999. Tidak ada yang terbunuh dalam kasus ini, demikian pula tidak ada Quran yang diinjak seperti rekayasa Museum Pengkhianatan PKI yang diresmikan Soeharto tahun 1990. Tahun 1996 terbit buku Agus Sunyoto dkk, Banser Berjihad Menumpas PKI. Akbar Tanjung mensponsori penerbitan buku Fath. Zakaria, Geger Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah, 1997. Wacana rekonsiliasi dengan korban 1965 yang dilontarkan Abdurrachman Wahid disambut hangat kelompok muda Syarikat yang melakukan rekonsiliasi tingkat akar rumput antara anggota Banser NU dengan korban PKI di seantero pulau Jawa. Chandra Aprianto menulis artikel "Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur". Beberapa buku diterbitkan Syarikat, juga buletin Ruas. Buku terakhir mereka Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora. Kelompok muda NU yang lain Desantara menerbit Syir'ah pesaing majalah Sabili. Sementara kelompok penerbit muda NU, LKiS, menerbitkan buku Kasiyanto Kasemin, Analisis Wacana Pencabutan TAP/MPRS/XXV/1966. Terjadi kesenjangan besar antara NU dan Muhammadiyah. Darikalangan terakhir jarang terdengar nada rekonsiliasi. Padahal dulu Kokam Muhammadiyah juga terlibat dalam pembantaian 1965. Ini berdasar keputusan Muhammadiyah di Jakarta 9-11 November 1965 bahwa jihad melawan PKI adalah ibadah, bukan sunah melainkan wajib ain. (Hasan Ambary, 2001: hal 14). Tidak merata sikap elit NU terhadap rekonsiliasi. Gus Dur paling mendukung. Yang keras menolak adalah pamannya Jusuf Hasyim. Sholahuddin Wahid setuju kebijakan diskriminatif terhadap keluarga kiri dihapus, sedangkan Hasyim Muzadi agak ambivalen ("Rehabilitasi terhadap orang PKI harus dilakukan secara bertahap, jika orang PKI itu terlampau banyak direhabilitasi, dengan adanya kemiskinan massal bukan tidak mungkin mereka mengeksploitasi kemiskinan massal itu untuk menghidupkan kembali komunisme") (Kompas, 29 Maret 2000)Yang baru dan akan terbitPresiden Megawati meminta Mendiknas untuk membuat buku tentang 1965 yang selanjutnya menunjuk Taufik Abdullah dengan beranggotakan 25 penulis. Bab yang dibahas: kronologi G30S, refleksi tentang peralihan kekuasaan serta bibliografi 1965. Malam penculikan para Jenderal 30 September 1965 konon dijuluki "Malam Jahanam". Dalam kronologi disebutkan Letkol Heru Atmodjo menjemput Aidit dari rumahnya ke Halim Perdanakusuma pukul 10 malam. Hal ini bertentangan dengan kesaksian Heru Atmodjo yang bakal terbit. Penyair Taufiq Ismail terus berteriak tentang "bahaya laten komunisme" dengan meluncurkan buku Katastrofi Dunia mengenai lima bahaya yang mengancam dunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba. Buku lainnya yang layak dibaca karya Kerstin Beise yang komprehensif, Apakah Soekarno Terlibat G30S ? Kesaksian tentang penjara khusus perempuan tapol 1965 di Plantungan, Kendal, Jawa Tengah sudah ditulis. Yang tak kalah menarik buku John Roosa yang bakal terbit di Michigan University Press, Pretext for Mass Murder: The September 30 th Movement and Soeharto's Coup d'Etat in Indonesia.Analisis dokumen Supardjo dan wawancara mendalam dengan elit PKI dilakukan Dr John Roosa untuk menguak tabir G30S. Keanehan dekrit kedua Untung tentang Dewan Revolusi dijelaskan dalam buku ini, juga disebutkan pengetik dokumen itu.Akhirnya pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) diharapkan membantu meluruskan sejarah dengan menginvestigasi peristiwa Madiun 1948 dan pembantaian 1965. Dengan harapan semuanya bermuara kepada rekonsiliasi. Percayalah bahwa meluruskan sejarah tidak merusak akidah. ***

LPK'65: KASUS MUCHDI, BATU UJIAN PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA


KASUS MUCHDI: BATU UJIAN PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA
(Menyorot liku-liku gelap jalan menuju keadilan bagi aktivis HAM Munir)


10 tahun perjalanan “reformasi” setelah jatuhnya rejim Suharto pada hakekatnya merupakan rentang waktu berlangsungnya perang tanding garis politik yang menginginkan tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia melawan garis politik yang ingin tetap meneruskan “ideologie” orde baru Suharto beserta jurus impunitas atas pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-1998). Kenyataan bahwa dalam era “reformasi” peta kekuatan politik pada jaman orba masih tetap tidak mengalami perubahan berakibat tidak adanya perubahan secara signifikan di bidang pelaksanaan dan penegakan hak asasi manusia, meskipun peraturan-peraturan hukum mengenai HAM telah dituangkan baik di dalam hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia (UUD 1945, UU HAM, UU Pengadilan HAM dan lain-lainnya). Yang sangat menyolok mata dan menusuk rasa keadilan adalah belum adanya penyelesaian secara adil kasus pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir lebih-kurang 4 tahun yang lalu tidak lain adalah kelanjutan dari perang tanding tersebut di atas, di mana sejumlah bukti kuat mengarah pada keterlibatan Muchdi Purwopranjono, Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN). Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan juga bahwa BIN sebagai institusi negara juga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Karena adanya bukti-bukti kuat itulah maka Kejaksaan menindak lanjuti proses hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi kenyataannya majelis hakim memberi putusan bebas kepada Muchdi dengan alasan tuduhan Penuntut Umum tidak terbukti.
Adakah suatu permainan patpat-gulipat diantara alat penegak hukum? Itulah pertanyaan kuat dari kalangan masyarakat luas di dalam negara, di mana budaya money politik sangat dominan di dalam kehidupan. Dalam permainan patpat gulipat bisa diterka opsi jurus mana yang mereka gunakan. Mungkin dengan sengaja Jaksa/Penuntut Umum membuat tuntutan sedemikian rupa lemah, sehingga hakim menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa? Mungkin juga antara Penuntut Umum dan Hakim sudah terjadi “perjanjian” rahasia dengan tujuan membebaskan terdakwa?

Kini kasus Muchdi tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan di ajukan ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi. Kejaksaan Agung menemukan adanya kesalahan interpretasi hukum oleh Majelis Hakim dalam memutuskan vonis bebas Muchdi Purwopranjono dalam kaitannya dengan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir.
Antara Penuntut Umum dan Hakim bisa saja terdapat perbedaan interpretasi mengenai sesuatu peraturan hukum. Hal tersebut biasa di dalam praktek dunia hukum. Tetapi perbedaan interpretasi di dalam proses pengadilan tentu yang menang Majelis Hakim, sebab ditangan dialah palu putusan vonis dijatuhkan. Dengan demikian di dalam mahkamah kasasi nanti Mahkamah Agung akan menjadi penentu siapa pemenang dari perbedaan interpretasi tersebut di atas.
Seperti kita ketahui, pada tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak lagi melihat dan membicarakan fakta yang telah diperiksa dalam proses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mahkamah Agung hanyalah akan memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menjatuhkan putusan Kasus Muchdi. Dalam hal ini MA hanya membaca teks perundang-undangan dan menyimpulkan berdasarkan logika hukum.

Perlu kita ingatkan bahwa dalam kasus Pollycarpus, dia dinyatakan terbukti melakukan konspirasi untuk melenyapkan nyawa Munir sehingga divonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri. Tapi di tingkat kasasi Pollycarpus dinyatakan tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Munir. (Dia hanya terbukti memalsukan surat tugas atau menggunakan surat tugas palsu dalam penerbangan Jakarta--Singapura, 6 September 2004). Dalam kasus Muchdi ini terbalik, dia diputus bebas oleh Pengadilan Negeri karena tidak terbukti apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum kepadanya. Apakah nanti di tingkat kasasi Mahkamah Agung akan menyatakan Muchdi juga tidak terbukti tuduhan jaksa Penuntut Umum seperti halnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? Tentu saja masyarakat dan organisasi peduli HAM berharap tidak terjadinya permainan patpat gulipat.
Masyarakat dan organisasi peduli tegaknya hukum dan HAM di Indonesia akan terus memonitor jurus-jurus silat para “penegak hukum” dalam Kasus Muchdi tersebut dan kasus pembunuhan Munir keseluruhannya. Di pengadilan tingkat kasasi inilah akan tampak lagi seberapa jauh keadilan di Indonesia ditegakkan dan perundang-undangan HAM ditaati. Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK'65), Nederland terus melakukan usaha-usaha ke arah terciptanya perubahan-perubahan positif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada umumnya dan pelanggaran HAM berat masa lalu pada khususnya. Tapi sampai saat ini belum tampak fakta-fakta yang menunjukkan perubahan yang dimaksud. Contoh nyata a.l. Kasus Pelanggaran HAM berat 1965 sampai sekarang (sudah 43 tahun) tidak mendapat perhatian serius dari institusi-institusi negara yang bertanggung jawab. Dalam Kasus Jalan Diponegoro Tahun 1998 bahkan para korbannya yang mendapat vonis hukuman penjara. Dalam kasus Tanjung Priok terdakwa pelaku pelanggaran HAM dinyatakan tidak terbukti, sehingga pengadilan kasasi membatalkan eksekusi kompensasi untuk para korban.

Dalam kaitannya dengan kasus Muchdi Purwopranjono tersebut LPK’65, Nederland menyerukan dan mendesak agar:
- Mahkamah Agung melakukan tugasnya atas dasar keadilan, kejujuran dan tidak memihak.
- Institusi-institusi penegak hukum menjadikan pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kasus Muchdi berkaitan dengan kasus pembunuhan Munir merupakan “a test of our history” signal positif untuk langkah ke depan kinerjanya.
- Keadilan bagi Munir dan korban pelanggaran HAM lainnya ditegakkan tidak pandang siapa pun pelaku kejahatannya, serta sepenuhnya mendukung usaha Suciwati isteri mendiang Munir dan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir) untuk menyingkap pelaku utama pembunuhan Munir tersebut.

Nederland, 14 Januari 2009

LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK’65), NEDERLAND,
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)