vrijdag 20 maart 2009

Harsutejo: PROF DR BOB HERING DAN SEJARAH 1965

PROF DR BOB HERING dan SEJARAH 1965
Ikut berdukacita atas kepergian sejarawan tersebut, semoga jejak langkahnya dapat kita pelajari bersama. Dapat saya sampaikan bahwa saya penerjemah karya beliau "Soekarno - Founding Father of Indonesia (1901-1945)" , Leiden 2002. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi 1901-1945", diterbitkan oleh Hasta Mitra 2003. Saya tambahkan bahan penerjemahan tersebut berasal dari print out komputer penulisnya yang belum diedit oleh KITLV yang dikirimkan kepada Bung Joesoef Isak ketika belum terbit di negeri Belanda.Buku yang telah terbit tersebut merupakan bagian pertama dari biografi yang ditulisnya, sedang bagian keduanya berjudul “Soekarno – The Presidential Years, August 17, 1945 – June 21, 1970”. Ketika sedang menerjemahkan buku di atas saya juga menerima dari Bung Joesoef bagian keduanya yang baru meliputi “Prologue” dan “Chapter One” (yang tidak lengkap) sebanyak 38 halaman. Ketika itu Pak Bob Hering sedang menyelesaikan karyanya itu, tapi kemudian dalam keadaan sakit-sakitan. Bung Joesoef pernah menyatakan kepada saya ia pesimis beliau akan dapat menyelesaikannya.Sebagai penerjemah bukunya (buku yang sebelumnya saya terjemahkan, “MH Thamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941”) saya dapat merasakan betapa almarhum Prof Dr Bob Hering telah melakukan penelitian sangat luas dan mendalam terhadap segala macam dokumen di berbagai negeri, mewawancarai ratusan orang dekat Bung Karno, kawan dan lawannya serta pihak-pihak yang mengenalnya atau pernah kontak dengan BK di sepanjang hidup BK, orang Indonesia maupun asing. Dari situ dapat saya simpulkan almarhum tentunya juga telah melakukan penelitian luas seputar tragedi 1965, utamanya yang berhubungan dengan BK.Mengingat pentingnya buku bagian kedua yang meliputi sejarah tragedi 1965, maka kepada teman-teman di negeri Belanda khususnya, juga kepada Pak Jaap Erkelens dari KITLV yang lama berdinas di Jakarta, saya himbau untuk dapat melacaknya. Jika belum selesai ditulis, barangkali ada pihak yang dapat meneruskannya (?). Beliau menyatakan bahan-bahannya telah lengkap.

Bekasi, 21 Maret 2009
Salam,
Harsutejo.-

Sumber: Milis Nasional (nasional-list), 21.03.2009 21:09

LPK'65: SELAMAT JALAN BP. PROF. DR. BOB HERING!

SELAMAT JALAN BP. PROF. DR BOB HERING!

Seluruh anggota dan pendukung Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK’65), Nederland, turut mengucapkan duka cita mendalam atas meninggalnya Bp. Prof. DR. Bob Hering, tanggal 18 Maret 2009 di kota Stein (Limburg, Nederland).

Sebagai indonesianist semasa hidupnya Bp. Bob Hering banyak mencurahkan tenaga dalam penilitian sekitar biografi politik Soekarno. Kwalitas keilmuan almarhum tidak diragukan, sehingga keobyektifan tulisannya yang berorientasi Indonesia mengenai Soekarno terjamin pula. Inilah yang membedakan dengan para indonesianist lainnya yang berorientasi Barat, di mana tulisan-tulisannya tak luput dari subyektifisme- politik dengan arah memojokkan dan mendiskreditir Soekarno.

Bp. Bob Hering bahkan menghormati dan mengagumi tokoh politik nasional dan internasional Soekarno. Pembentukan Yayasan Soekarno, di mana almarhum sendiri sebagai Ketuanya sampai akhir hayatnya, merupakan satu cerminan dari hal tersebut di atas. Bagi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda adalah suatu kenangan yang membanggakan ketika almarhum menghadiri Peringatan 100 Tahun Bung Karno di Amsterdam, Nederland dengan memakai kursi roda dan didampingi Ibu Netty Hering. Padahal jarak antara Amsterdam dan Stein memakan waktu berjam-jam perjalanan dengan mobil.

Karya-karya Bp. Bob Hering akan melengkapi khazanah sejarah politik Soekarno. Dan Bangsa Indonesia layak berterima kasih karenanya. Semoga arwah Bp. Bob Hering diterima Tuhan YME dengan limpahan kasih sayangNya. Dan semoga Ibu Netty dan keluarga besar Bob Hering tetap sabar dan tabah menghadapi peristiwa tersebut. Sekali lagi kami ucapkan duka cita yang mendalam.

Selamat jalan Bpk. Prof. DR. Bob Hering, jasa-jasamu kami kenang!

Nederland, 20 Maret 2009

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK’65), Nederland
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

donderdag 19 maart 2009

Asvi warman Adam: TRAGEDI TANPA AKHIR

Kompas, 18.09.2004
TRAGEDI TANPA AKHIR
Asvi Warman Adam

Tragedi 1965 perlu dilihat sebagai konsekuensi permusuhan komunis dengan Islam sejak 1948. Tahun 1965/1966 kelompok Islam bersekutu dengan Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menurut Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya jatuh korban cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Persiapan menyongsong pemilu 1955 memperuncing keadaan, fatwa komunisme identik dengan ateisme dikeluarkan Masyumi akhir 1954 di Surabaya. Sebelumnya Isa Anshary membentuk Front Anti Komunis di Jawa Barat (Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, 2004). Tahun 1960-an kekuasaan terpusat pada tiga pilar, PKI, Angkatan Darat dengan Soekarno di puncak piramida. PKI kian di atas angin. Kiprah politik mereka dilukiskan Arbi Sanit, Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2000). Konflik budaya tampak pada DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya, 1995. Sementara "aksi sepihak" diuraikan Aminuddin Kasdi (Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, 2001), Soegianto Padmo (Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, 2000) dan Fadjar Pratikto, Gerakan Rakyat Kelaparan di Gunung Kidul, 2000). Pada akhir era demokrasi terpimpin ada upaya menulis sejarah dari perspektif kiri. Untuk mengantisipasi ini, tahun 1964 Nasution membentuk Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata, cikal bakal Pusat Sejarah ABRI. 30 September 1965 meletus gerakan kecil yang berdampak sangat besar. Sedari 1 Oktober 1965, Yoga Soegama sudah yakin ini pemberontakan PKI. Menurut hemat saya, tragedi 1965 merupakan trilogi, pasca G30S terjadi pembantaian ½ juta jiwa dan pembuangan ke pulau Buru (1969-1979). Mengenai peristiwa G30S hanya versi tunggal yang diajarkan sekolah. Buku-buku lain dilarang, seperti terbitan ISAI Bayang-Bayang PKI, 1995. Selain PKI dan "Biro Chusus", dalang lainnya adalah Angkatan Darat, pihak asing (CIA dll), Soekarno dan Soeharto (kudeta merangkak). Buku-buku terlarang itu beredar pasca Soeharto seperti Cornel Paper (Ben Anderson dkk). Selain disertasi Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, juga terbit suntingan Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa/Bali 1965/1966. Tentang pulau Buru selain Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pram, terdapat beberapa kesaksian, yang terakhir Memoar Pulau Buru (Hersri Setiawan). Selain melalui pendidikan --dengan Buku Putih dan SNI suntingan Nugroho Notosusanto - untuk legitimasi kekuasaan, militer juga memanfaatkan monumen dan museum (disertasi Kate McGregor, Universitas Melbourne, 2002).Tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto (Budi Irawanto, Hegemoni militer dalam sinema Indonesia, 1999.Sejarah korbanBila sebelumnya sejarah demi penguasa, kini muncul tulisan dari perspektif korban. Dalam hal ini sejarah lisan sangat berperan karena membuat korban bersuara. Dua buku paling menonjol, Tahun yang tak pernah berakhir, Menghayati Pengalaman Korban 1965, 2004 dan Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965, 2003.Buku pertama sangat monumental, 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Maka terungkaplah pola penangkapan/ pembantaian setelah 1 Oktober 1965. Seluruhnya melanggar hukum, tidak satu pun dilengkapi surat perintah resmi. Tidak terbayang derita batin para korban. Perempuan mendadak jadi kepala keluarga dan tak luput dari perkosaan bergulir. Puluhan sketsa menggambarkan siksaan sadis di penjara. Buku kedua sangat menyentuh perasaan. Kehancuran keluarga --adakah yang lebih menyakitkan dari itu ? -menimpa hampir semua korban. Selain itu ada buku tipis, Usaha untuk Tetap Mengenang,Kisah-kisah Anak-anak Korban Peristiwa 65, 2003. Tema ini juga menjadi bahan skripsi di UI (Toeti Kakiailatu, 1984), UGM (Sriwahyuntari, Kromo Kiwo, 2004) dan Undip (Triyana, Kasus Pembantaian Massal PKI di Grobogan, 2004). Karya pengarang kiri banyak beredar, antara lain diterbitkan Pustaka Jaya. Ratna Sarumpaet mementaskan drama Anak Kegelapan, dilengkapi dengan vcd. Berita terbaru, Leontin Dewanga, kumpulan cerpen Martin Aleida - sebagian tentang derita korban 1965 -- menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa 2004 pada 1 Oktober 2004.Komunisme dan IslamDisertasi Budiawan di National University of Singapore diterbitkan berjudul Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto.Rekonsiliasi lebih mudah bila kelompok kiri mengingat juga peristiwa sebelum G30S (aksi sepihak dll) dan sebaliknya kalangan Islam mengingat pula peristiwa sesudah G30S (termasuk pembantaian massal 1965/1966, dst). Selama ini kedua pihak hanya mengenang hal-hal yang merugikan mereka. Budiawan sengaja mengulas dua memoar tokoh Islam kiri, Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis dan Haji Ahmadi Mustahal, Dari Gontor ke Pulau Buru. Sebelumnya telah terbit dua skripsi tentang tokoh Digulis Haji Misbach serta pemberontakan Komunis-Islam di Banten (Michael Williams) dan Silungkang (Mestika Zed). Peristiwa Kanigoro, Kediri, dikisahkan dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, 1999. Tidak ada yang terbunuh dalam kasus ini, demikian pula tidak ada Quran yang diinjak seperti rekayasa Museum Pengkhianatan PKI yang diresmikan Soeharto tahun 1990. Tahun 1996 terbit buku Agus Sunyoto dkk, Banser Berjihad Menumpas PKI. Akbar Tanjung mensponsori penerbitan buku Fath. Zakaria, Geger Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah, 1997. Wacana rekonsiliasi dengan korban 1965 yang dilontarkan Abdurrachman Wahid disambut hangat kelompok muda Syarikat yang melakukan rekonsiliasi tingkat akar rumput antara anggota Banser NU dengan korban PKI di seantero pulau Jawa. Chandra Aprianto menulis artikel "Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur". Beberapa buku diterbitkan Syarikat, juga buletin Ruas. Buku terakhir mereka Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora. Kelompok muda NU yang lain Desantara menerbit Syir'ah pesaing majalah Sabili. Sementara kelompok penerbit muda NU, LKiS, menerbitkan buku Kasiyanto Kasemin, Analisis Wacana Pencabutan TAP/MPRS/XXV/1966. Terjadi kesenjangan besar antara NU dan Muhammadiyah. Darikalangan terakhir jarang terdengar nada rekonsiliasi. Padahal dulu Kokam Muhammadiyah juga terlibat dalam pembantaian 1965. Ini berdasar keputusan Muhammadiyah di Jakarta 9-11 November 1965 bahwa jihad melawan PKI adalah ibadah, bukan sunah melainkan wajib ain. (Hasan Ambary, 2001: hal 14). Tidak merata sikap elit NU terhadap rekonsiliasi. Gus Dur paling mendukung. Yang keras menolak adalah pamannya Jusuf Hasyim. Sholahuddin Wahid setuju kebijakan diskriminatif terhadap keluarga kiri dihapus, sedangkan Hasyim Muzadi agak ambivalen ("Rehabilitasi terhadap orang PKI harus dilakukan secara bertahap, jika orang PKI itu terlampau banyak direhabilitasi, dengan adanya kemiskinan massal bukan tidak mungkin mereka mengeksploitasi kemiskinan massal itu untuk menghidupkan kembali komunisme") (Kompas, 29 Maret 2000)Yang baru dan akan terbitPresiden Megawati meminta Mendiknas untuk membuat buku tentang 1965 yang selanjutnya menunjuk Taufik Abdullah dengan beranggotakan 25 penulis. Bab yang dibahas: kronologi G30S, refleksi tentang peralihan kekuasaan serta bibliografi 1965. Malam penculikan para Jenderal 30 September 1965 konon dijuluki "Malam Jahanam". Dalam kronologi disebutkan Letkol Heru Atmodjo menjemput Aidit dari rumahnya ke Halim Perdanakusuma pukul 10 malam. Hal ini bertentangan dengan kesaksian Heru Atmodjo yang bakal terbit. Penyair Taufiq Ismail terus berteriak tentang "bahaya laten komunisme" dengan meluncurkan buku Katastrofi Dunia mengenai lima bahaya yang mengancam dunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma dan Narkoba. Buku lainnya yang layak dibaca karya Kerstin Beise yang komprehensif, Apakah Soekarno Terlibat G30S ? Kesaksian tentang penjara khusus perempuan tapol 1965 di Plantungan, Kendal, Jawa Tengah sudah ditulis. Yang tak kalah menarik buku John Roosa yang bakal terbit di Michigan University Press, Pretext for Mass Murder: The September 30 th Movement and Soeharto's Coup d'Etat in Indonesia.Analisis dokumen Supardjo dan wawancara mendalam dengan elit PKI dilakukan Dr John Roosa untuk menguak tabir G30S. Keanehan dekrit kedua Untung tentang Dewan Revolusi dijelaskan dalam buku ini, juga disebutkan pengetik dokumen itu.Akhirnya pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) diharapkan membantu meluruskan sejarah dengan menginvestigasi peristiwa Madiun 1948 dan pembantaian 1965. Dengan harapan semuanya bermuara kepada rekonsiliasi. Percayalah bahwa meluruskan sejarah tidak merusak akidah. ***

LPK'65: KASUS MUCHDI, BATU UJIAN PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA


KASUS MUCHDI: BATU UJIAN PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA
(Menyorot liku-liku gelap jalan menuju keadilan bagi aktivis HAM Munir)


10 tahun perjalanan “reformasi” setelah jatuhnya rejim Suharto pada hakekatnya merupakan rentang waktu berlangsungnya perang tanding garis politik yang menginginkan tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia melawan garis politik yang ingin tetap meneruskan “ideologie” orde baru Suharto beserta jurus impunitas atas pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-1998). Kenyataan bahwa dalam era “reformasi” peta kekuatan politik pada jaman orba masih tetap tidak mengalami perubahan berakibat tidak adanya perubahan secara signifikan di bidang pelaksanaan dan penegakan hak asasi manusia, meskipun peraturan-peraturan hukum mengenai HAM telah dituangkan baik di dalam hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia (UUD 1945, UU HAM, UU Pengadilan HAM dan lain-lainnya). Yang sangat menyolok mata dan menusuk rasa keadilan adalah belum adanya penyelesaian secara adil kasus pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir lebih-kurang 4 tahun yang lalu tidak lain adalah kelanjutan dari perang tanding tersebut di atas, di mana sejumlah bukti kuat mengarah pada keterlibatan Muchdi Purwopranjono, Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN). Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan juga bahwa BIN sebagai institusi negara juga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Karena adanya bukti-bukti kuat itulah maka Kejaksaan menindak lanjuti proses hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi kenyataannya majelis hakim memberi putusan bebas kepada Muchdi dengan alasan tuduhan Penuntut Umum tidak terbukti.
Adakah suatu permainan patpat-gulipat diantara alat penegak hukum? Itulah pertanyaan kuat dari kalangan masyarakat luas di dalam negara, di mana budaya money politik sangat dominan di dalam kehidupan. Dalam permainan patpat gulipat bisa diterka opsi jurus mana yang mereka gunakan. Mungkin dengan sengaja Jaksa/Penuntut Umum membuat tuntutan sedemikian rupa lemah, sehingga hakim menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa? Mungkin juga antara Penuntut Umum dan Hakim sudah terjadi “perjanjian” rahasia dengan tujuan membebaskan terdakwa?

Kini kasus Muchdi tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan di ajukan ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi. Kejaksaan Agung menemukan adanya kesalahan interpretasi hukum oleh Majelis Hakim dalam memutuskan vonis bebas Muchdi Purwopranjono dalam kaitannya dengan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir.
Antara Penuntut Umum dan Hakim bisa saja terdapat perbedaan interpretasi mengenai sesuatu peraturan hukum. Hal tersebut biasa di dalam praktek dunia hukum. Tetapi perbedaan interpretasi di dalam proses pengadilan tentu yang menang Majelis Hakim, sebab ditangan dialah palu putusan vonis dijatuhkan. Dengan demikian di dalam mahkamah kasasi nanti Mahkamah Agung akan menjadi penentu siapa pemenang dari perbedaan interpretasi tersebut di atas.
Seperti kita ketahui, pada tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak lagi melihat dan membicarakan fakta yang telah diperiksa dalam proses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mahkamah Agung hanyalah akan memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menjatuhkan putusan Kasus Muchdi. Dalam hal ini MA hanya membaca teks perundang-undangan dan menyimpulkan berdasarkan logika hukum.

Perlu kita ingatkan bahwa dalam kasus Pollycarpus, dia dinyatakan terbukti melakukan konspirasi untuk melenyapkan nyawa Munir sehingga divonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri. Tapi di tingkat kasasi Pollycarpus dinyatakan tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Munir. (Dia hanya terbukti memalsukan surat tugas atau menggunakan surat tugas palsu dalam penerbangan Jakarta--Singapura, 6 September 2004). Dalam kasus Muchdi ini terbalik, dia diputus bebas oleh Pengadilan Negeri karena tidak terbukti apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum kepadanya. Apakah nanti di tingkat kasasi Mahkamah Agung akan menyatakan Muchdi juga tidak terbukti tuduhan jaksa Penuntut Umum seperti halnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? Tentu saja masyarakat dan organisasi peduli HAM berharap tidak terjadinya permainan patpat gulipat.
Masyarakat dan organisasi peduli tegaknya hukum dan HAM di Indonesia akan terus memonitor jurus-jurus silat para “penegak hukum” dalam Kasus Muchdi tersebut dan kasus pembunuhan Munir keseluruhannya. Di pengadilan tingkat kasasi inilah akan tampak lagi seberapa jauh keadilan di Indonesia ditegakkan dan perundang-undangan HAM ditaati. Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK'65), Nederland terus melakukan usaha-usaha ke arah terciptanya perubahan-perubahan positif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada umumnya dan pelanggaran HAM berat masa lalu pada khususnya. Tapi sampai saat ini belum tampak fakta-fakta yang menunjukkan perubahan yang dimaksud. Contoh nyata a.l. Kasus Pelanggaran HAM berat 1965 sampai sekarang (sudah 43 tahun) tidak mendapat perhatian serius dari institusi-institusi negara yang bertanggung jawab. Dalam Kasus Jalan Diponegoro Tahun 1998 bahkan para korbannya yang mendapat vonis hukuman penjara. Dalam kasus Tanjung Priok terdakwa pelaku pelanggaran HAM dinyatakan tidak terbukti, sehingga pengadilan kasasi membatalkan eksekusi kompensasi untuk para korban.

Dalam kaitannya dengan kasus Muchdi Purwopranjono tersebut LPK’65, Nederland menyerukan dan mendesak agar:
- Mahkamah Agung melakukan tugasnya atas dasar keadilan, kejujuran dan tidak memihak.
- Institusi-institusi penegak hukum menjadikan pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kasus Muchdi berkaitan dengan kasus pembunuhan Munir merupakan “a test of our history” signal positif untuk langkah ke depan kinerjanya.
- Keadilan bagi Munir dan korban pelanggaran HAM lainnya ditegakkan tidak pandang siapa pun pelaku kejahatannya, serta sepenuhnya mendukung usaha Suciwati isteri mendiang Munir dan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir) untuk menyingkap pelaku utama pembunuhan Munir tersebut.

Nederland, 14 Januari 2009

LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK’65), NEDERLAND,
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

MD Kartaprawira: 60 TAHUN DEKLARASI SEJAGAD HAK ASASI MANUSIA: 43 TAHUN MACET DI INDONESIA

60 TAHUN DEKLARASI SEJAGAD HAK ASASI MANUSIA: 43 TAHUN MACET DI INDONESIA

Oleh: MD Kartaprawira*

Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948 tak bisa dinegasikan arti pentingnya dalam kehidupan manusia. Dengan norma-norma HAM yang muncul kemudian di dalam perundang-undangan negara-negara di dunia secara yuridis setiap manusia di dalam sesuatu negara harus dijamin hak asasinya oleh negara. Di dalam UUD 1945 (Amandemen) dimuat sebagian besar norma-norma HAM yang telah dituangkan di dalam deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi PBB. Seharusnya bangsa Indonesia bangga dan merasa lega akan terlindungi hak-hak asasinya. Tapi ternyata hal tersebut hanya lamunan belaka, sebab banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak mendapatkan penyelesaian sebagaimana mestinya. Bahkan sangat memrehatinkan sekali dan sangat kontradiktif mengapa di Indonesia yang dasar filsafatnya Pancasila dan telah mengadopsi sebagian besar norma-norma HAM yang di keluarkan PBB di dalam UUD 1945, makin berkembang pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, misalnya dalam bidang pendidikan, perburuhan, kehidupaan beragama dll.

Mencari akar permasalahannya haruslah hati-hati dan tidak gegabah tanpa logika. Pertama, kita harus conditio sine qua non mengakui eksistensi Negara Indonesia (NKRI) dan Bangsa Indonesia. Kedua, negara dan bangsa ini nasibnya ditentukan oleh penyelenggara negara (Pemerintah, DPR, BPK, MA, dll). Jadi kalau keadaan negara dan bangsa kacau balau, maka yang digugat untuk dimintakan pertanggung-jawabannya adalah penyelenggara negara. Sebab merekalah yang mendapat tugas dan kewajiban mengelola kepentingan negara dan bangsa, dan mereka memakan gaji dari pajak rakyat. Jangan keblinger dan latah: malahan menghujat NKRI dan Bangsa Indonesia, jangan terperosok ke jurang komplotan disintegrasi dan separatisme.

Dalam hal masalah pelanggaran HAM (berat dan ringan, masa kini dan masa lalu), penyeleggara negaralah yang harus didesak dan dituntut untuk bertanggung jawab menuntaskannya. Memang tidak perlu hanya berkonsentrasi pada masalah pelanggaran HAM berat 1965, tapi masalah tersebut harus mendapat penanganan yang serius dan seimbang dengan masalah pelanggaran HAM lainnya. Meskipun sesungguhnya korban 3 juta nyawa, puluhan ribu orang dijebloskan ke pulau Buru dan penjara-penjara lainnya berkaitan dengan peristiwa 1965 seharusnya mendapat perhatian prioritas pertama. Tentu saja mengandalkan kepada rejim Suharto untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat tersebut di atas adalah suatu hal yang tidak mungkin. Tapi anehnya pada era reformasi ini, pasca lengsernya Suharto pun ternyata keadaannya idem dito – sama saja, tidak ada perubahan. Bahkan tampak jelas adanya diskriminasi terhadap penanganan masalah pelanggaran HAM berat 1965 dibanding dengan masalah HAM lainnya. Sampai dewasa ini KOMNAS HAM pun belum menghasilkan sesuatu yang berarti bagi penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat 1965.

Belum lama ini terbetik berita bahwa Komnas HAM akan mengadakan penyelidikan ke pulau Buru untuk mengumpulkan data-data bukti tentang pembuangan puluhan ribu orang tak berdosa ke pulau Buru. Nonsence besar!!! Apakah Komnas HAM mempunyai keragu-raguan atas fakta pembuangan ribuan orang ke pulau Buru? Tidak usah jauh-jauh mecari bukti/data pelanggaran HAM berat tersebut, terlalu banyak uang negara dihambur-hamburkan. Jalan pendek dan efektif cukup dilakukan di Jakarta saja, yaitu bongkar semua dokumen arsip KOPKAMTIB. Masalahnya berani atau tidak Komnas HAM melakukan dobrakan-dobrakan. Bukankah mereka (para korban) diangkut ke pulau Buru oleh militer dan dengan kapal militer? Atas perintah Suharto bersama Kopkamtib? Sumber bukti lainnya lagi, yaitu bukti-saksi para mantan tapol pulau Buru yang dibebaskan Rejim Suharto pada tahun 1970-an karena “desakan” tuan besar dari “seberang lautan” yang merasa dirugikan dengan tingkah politik rejim Suharto, meskipun dulu membantunya. Komnas HAM seharusnya bisa melakukannya, jangan tunda-tunda waktu lagi sebab kebanyakan para korban sudah tua-renta.

Penyelenggara negara dewasa ini berkewajiban menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat 1965 dan pelanggaran HAM masa lalu lainnya (Tanjung Priok, Trisakti, Jalan Diponegoro dll.), sebab mereka adalah pewaris tanggung jawab penyelenggra negara masa lalu (rejim Suharto). Bagi penyelenggara negara dewasa ini tidak ada satu pun alasan untuk menghindarkan tanggung jawab tersebut di atas. Karena jaminan atas perlindungan hak asasi manusia jelas tercantum dalam UUD 1945 dan perundang-undangan organik lainnya, dengan demikian pencapakkan atau pengingkaran penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat 1965 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah dan DPR seharusnya menyadari hal tersebut, sebab rakyat tidak bisa dibohongi dan ditakut-takuti lagi.

Telah 60 tahun dideklarasikan ke seluruh dunia Hak Asasi Manusia oleh PBB, yang kemudian juga didirikan Komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Jenewa. Ternyata organ internasional tersebut pun tetap buta, tuli dan bisu terhadap masalah pelanggaran HAM berat 1965 di Indonesia yang korbannya luar biasa besarnya.
Tentu saja tidak boleh menegasikan pencapaian-pencapaian positip dalam penanganan masalah pelanggaran-pelanggaran HAM tertentu di Indonesia yang tidak berkaitan dengan pelanggaran masa lalu yang dilakukan oleh penguasa rejim Suharto. Tetapi mendiamkan, melupakan, menterbengkalaikan, apalagi mengabaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965 adalah kesalahan dan aib besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mempunyai filsafat Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 yang mengandung norma-norma hak asasi manusia.
Dalam kesempatan menyambut ULTAH 60 TAHUN DEKLARASI SEJAGAD HAK ASASI MANUSIA kepada segenap penyelenggara negara, terutama Pemerintah dan DPR diserukan: “Sadarlah akan perlunya penegakan kebenaran dan keadilan dalam melaksanakan HAM di Indonesia, apalagi bagi bangsa dan warganegaranya sendiri. Kemudian rintislah jalan ke arah tujuan itu. Kemacetan jalan selama 43 tahun sudah lebih dari cukup untuk membuka hati nurani dan menyadari perlunya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965 di tanah air maupun di luar negeri.”

Nederland, 10 Desember 2008
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

Roeslan: MD Kartaprawira - ANDI MATALATA SOSIALISASIKAN .....(2) - REFLEKSI

RE: [nasional-list] MD Kartaprawira - ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (2): MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

REFLEKSI.

Sikap pemeruntah SBY-JK yang termanifestasikan dalam pernyataan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, jelas mencerminkan sikap ego yang represif dari pemerintah SBY-JK. Sikap Ego yang represif itu adalah warisan dari pemerintah diktator militer fasis Soeharto, yang sampai sekarang tetap di jalankan oleh pemerintah SBY-JK dalam menghadapi Rakyat Indonesia yang menentang orde baru baik yang jilit satu maupun yang jilit ke dua.

Roeslan.

MD Kartaprawira: ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN RI 2006 (3): BERHADAPAN STATEMENT LPK'65 (27.04 2007)


ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN RI 2006 (3): BERHADAPAN STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 ( 27 April 2007)
Oleh MD Kartaprawira*)


Agar kita mendapat gambaran jelas garis posisi Lembaga Pembela Korban 1965 terhadap UU Kewarganegaraan RI 2006, yang pada tanggal 19 September 2008 disosialisasikan oleh Andi Mattaalata di KBRI Den Haag, perlu saya tayangkan ulang press releases "Statement Lembaga Pembela Korban '65 Tentang Kebijakan Pemerintah Indonesia Sehubungan dengan UU Kewarganegaraan RI/2006 Terhadap WNI-Korban Pelanggaran HAM Orde Baru di Luar Negeri", tertanggal 27 April 2007 di Zeist (Nederland).

Dengan Statement tersebut diharapkan kita semua, baik OTP (Orang Terhalang Pulang) maupun bukan OTP, bisa mencermati apa yang tersurat dan tersirat di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Bagi para OTP jelas, bahwa selama dua posisi politik para korban dan pelaku pelanggaran HAM berat 1965 belum bisa ketemu, selama itu pula banyak masalah tidak dapat diselesaikan, antara lain mengenai UU Kewarganegaraan RI 2006.

Posisi pelaku pelanggaran HAM 1965 yang masih mau menyembunyikan tindak kejahatannya terhadap WNI di luar negeri yang dengan sewenang-wenang dicabuti paspornya (OTP) nampak jelas dengan tidak disinggungnya sepatah kata pun yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di dalam UU Kewarganegaraan RI 2006.

Maka tidak mengherankan bahwa pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 oleh menteri hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag, yang dari orang tergolong OTP hanya hadir 2 (dua) orang saja.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65 (LPK65), Nederlan
http://lbgpk65.blogspot.com/
Press Releases
STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
TentangKEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI
Lembaga Pembela Korban '65 (LPK'65) sesuai visi dan misinya akan terus memperjuangkan kepentingan korban peristiwa 1965 di dalam dan di luar negeri. Yang dimaksud korban peristiwa 1965 di luar negeri, yaitu para warganegara Indonesia yang ketika meletus peristiwa G30S sedang menjalankan tugasnya di luar negeri (sebagai mahasiswa, pejabat, wartawan, anggota delegasi di forum internasional) dicabut paspornya secara sewenang-wenang oleh penguasa Orde Baru/penguasa Negara saat itu.


Bahwasanya mereka berposisi loyal dan mendukung pemerintah Soekarno sebagai pemerintahan sah saat itu, tidaklah bisa dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan repressi kepada mereka dengan pencabutan paspor. Akibatnya mereka selama 32 tahun mendapatkan banyak kesulitan dan tidak bisa pulang ke tanah air, terpisah dengan sanak keluarganya, menjadi apa yang dinamakan "orang terhalang pulang" (selanjutnya: OTP). Tindakan penguasa Orde Baru yang demikian itu menunjukkan identitas sebagai penguasa diktator yang melanggar hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.

Dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 pemerintah RI menunjukkan suatu langkah penyelesaian masalah para OTP, di samping masalah orang-orang yang kehilangan kewarganegaraan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa 65. Bagi para OTP kebijakan pemerintah tertuang dalam UU Kewarganegaraan tersebut dirasakan tidak memenuhi tuntutan keadilan dan tidak manusiawi. Sedang janji Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin di Helsinki (11.09.2006) akan bertemu dengan para OTP di Amsterdam dan Paris, yang mungkin bisa membuka jalan dialog positif, ternyata sampai detik ini tidak kunjung kabar beritanya.
Menyikapi kebijakan pemerintah SBY-Kalla cq. Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pemulihan kembali kewarganegaraan RI kepada mantan WNI (para OTP) tersebut di atas, Lembaga Pembela Korban'65 menyatakan:

Tindakan pencabutan paspor oleh Penguasa Orde Baru/penguasa Negara pada saat itu terhadap WNI tersebut di atas adalah tindakan politis yang melanggar hukum dan HAM. Penyelesaian masalah tersebut yang dilakukan pemerintah dewasa ini melalui UU Kewarganegaraan RI/2006 adalah suatu kebijakan bersifat administratif: tidak dapat dibenarkan, tidak adil dan tidak manusiawi. Penyelesaian masalah para OTP seharusnya tidak hanya sebatas pengembalian paspor belaka, tetapi harus mencakup semua aspek-aspek keadilan dan HAM yang telah dilanggar penguasa Orba.


Maka kalau pemerintah SBY-Kalla berkehendak melakukan kebijakan rekonsiliatif untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM bagi para OTP, pemerintah harus melakukan kebijakan berdasarkan keputusan politik pula dengan mematuhi prinsip penegakan Kebenaran dan Keadilan. Sesuai prinsip Kebenaran pemerintah atas nama negara harus mengakui dengan tegas bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para warganegaranya tersebut di atas. Dan oleh karenanya pemerintah atas nama negara harus dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada para OTP.


Selanjutnya sesuai prinsip Keadilan pemerintah harus mengembalikan sepenuhnya hak-hak politik dan sosial ekonominya, termasuk hak mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Hal itu adalah prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi landasan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia khususnya dan penyelenggara negara pada umumnya dalam menyelesaikan masalah-masalah warganegara RI di luar negeri yang karena peristiwa 1965 terhalang pulang dan/atau dicabut paspornya oleh penguasa Negara/Pemerintah Orde Baru.


Pemulihan kembali kewarganegaraan RI haruslah dipandang hanya sebagai salah satu konsekwensi penegakan Kebenaran dan Keadilan, di samping konsekwensi-konsekwensi lainnya: pemulihan penuh hak-hak politik dan sipil, rehabilitasi penuh, jaminan keamanan-sosial-ekonomi dan tindak non-diskriminatif.
Kebijakan pemerintah tanpa penegakan Kebenaran dan Keadilan adalah identik dengan pengingkaran pelanggaran HAM yang telah menyengsarakan warganegaranya sehingga tidak bisa kembali ketanah air untuk menunaikan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa, kehilangan karier, terpisah dengan sanak keluarga di tanah air selama tiga dasa warsa, dan lain-lainnya.


Sedang kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.HL.03.01 Tahun 2006 tentang "Pernyataan Kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia", di mana pernyataan kesetiaan tersebut merupakan persayaratan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali bagi mereka yang dicabut paspornya tsb. di atas, adalah tidak tepat dan dirasakan sebagai penghinaan yang mendalam. Sebab mereka tersebut bukan kaum separatis dan pemberontak terhadap NKRI, melainkan patriot yang cinta dan membela tanah air Indonesia, UUD'45 dan Pancasila. Persyaratan pernyataan setia kepada NKRI hanya patut diberlakukan kepada kaum separatis dan pemberontak yang kembali kepangkuan NKRI.


Di samping itu perlu ditekankan, bahwa LPK'65 tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi mereka yang berposisi lain demi mendapatkan kembali kewarganegaraan RI sesuai ketentuan-ketentuan UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 dan peraturan-peraturan organiknya. Hak asasi mereka kami hormati sepenuhnya.
LPK'65 beranggapan bahwa Pemerintah dan Penyelenggara Negara lainnya diharapkan masih bisa dan punya kesempatan untuk merubah kebijakan-kebijakan negatif tersebut diatas demi tegaknya kebenaran dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam UUD 45 dan Pancasila. Sedang kepada semua lembaga/organisasi peduli HAM diharapkan dukungannya dan kerjasamanya dalam perjuangan menegakkan hukum dan HAM di Indonesia.

Zeist/Nederland, tgl. 27 April 2007

LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto (Sekretaris I)
Posted by LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 at 3:09 PM 0 comments
http://lbgpk65.blogspot.com/

MD Kartaprawira: ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN RI 2006 (2): MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (2) : MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

Oleh MD Kartaprawira*)

Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam menyosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 di KBRI Den Haag pada 19 September yang lalu, jelas belum memahami sedikitpun permasalahan yang menyangkut “orang terhalang pulang” (selanjutnya OTP) atau dia tidak mau tahu. Masalah OTP tersebut sudah lama menjadi mata pembicaraan di media cetak, internet, radio, TV di samping di diskusikan di dalam seminar-seminar sampai saat ini. Tapi yang disosialisasikan Mattalata hanya mengenai masalah sekitar prosedur/cara permohonan kewarganegaraan kembali. Padahal persoalan prinsipiil bagi OTP adalah penegakan kebenaran dan keadilan. Artinya penguasa negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran berat terhadap WNI di luar negeri, karenanya harus minta maaf kepada WNI yang menjadi korban tersebut (OTP).

Kalau kebenaran sudah ditegakkan, selanjutnya harus ditegakkan keadilan, yaitu semua hak politik dan sipilnya dikembalikan kepada mereka, termasuk kewarganegaraannya, restitusi dan kompensasi jika memungkinkan. Itulah masalahnya yang pokok dan prinsipiil. Sedang kewarganegaraan itu adalah masalah buntut yang otomatis mengikuti masalah pokok.

Memang pengakuan perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sangat berat. Tapi seberat apapun pengakuan terhadap rakyatnya sendiri harus dilakukan. Mengapa pemerintah Indonesia tidak mampunyai keberanian untuk minta maaf kepada para korban, yang nota bene adalah bagian dari bangsanya sendiri. Mengapa pemerintah Indonesia tidak punya keberanian mencontoh Jepang, yang berani minta maaf bahkan kepada bangsa lain, yang tatkala masa Perang Dunia II Jepang melakukan tindakan kejahatan kemanusian di negara-negara yang didudukinya, a.l. wanita-wanita di negara-negara tersebut (Korea, Cina dll) dipaksa untuk dijadikan wanita pelampias kebutuhan sex serdadu-serdadunya, karena jauh dari isteri-isterinya? Dan agaknya berita yang relatif belum lama tidak masuk di telinga para penyelenggara negara Indonesia, bahwa parlemen Spanyol telah mengesahkan UU tentang pemberian kompensasi dan restitusi beserta permintaan maaf kepada para korban keganasan rejim fasis Franco (pelanggaran HAM 70 tahun yang lampau).

Menteri Hamid Awaluddin yang berperan penting terciptanya UU tersebut, di Helsinki (2005) ketika menanggapi pendapat salah satu OTP yang berdomisili di Swedia tentang masalah penyelesaian OTP dengan tegas menyatakan bahwa kalau politik yang dipermasalahkan tidak bisa, tapi kalau mengenai paspor atau kewarganegaraan yang diminta akan diberi. Jadi masalah prinsip tampaknya akan mereka hindarkan dan tolak terus, sedang yang mereka berikan hanyalah masalah buntutnya saja. Padahal masalah pelanggaran HAM berat adalah masuk dalam wilayah politik, yang harus diselesaikan dengan putusan politik. Selama masalah politik tidak diselesaikan, berarti penguasa negara masih menyembunyikan tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap rakyatnya.

Tetapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa rejim Orba/Suharto tidak mungkin dihapus dari lembaran sejarah. Usaha yang mereka lakukan untuk tujuan tersebut dengan memutar balikkan sejarah selama 32 tahun (melalui pendidikan di sekolah-sekolah, pemutaran film tentang G30S dan lain-lainnya) telah mengalami kegagalan total - terbongkar tujuan busuknya. Sebab rakyat sudah tidak bisa dibodohi dan dibohongi lagi. Yang terus berlangsung adalah usaha-usaha dengan cara yang lebih halus untuk terus menyembunyikan kebenaran sejarah demi untuk menghindarkan tuntutan dilaksanakannya keadilan dan pertanggung jawaban hukum. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah melalui UU Kewarganegaraan RI 2006.

Segolongan masyarakat menyerukan agar melupakan masa lalu, demi menatap masa depan Indonesia. Tidak perlu mengungkit-ungkit masa lalu, sebab hanya membangkitkan dendam sejarah saja, kata mereka. Saya kira masa lalu tidak bisa dilupakan, tapi perlu diredam, diendapkan dalam-dalam untuk menatap masa depan. Syarat mutlak yang tidak boleh tidak – conditio sine qua non – ke arah tersebut ialah diakuinya lebih dulu kenyataan masa lalu: terjadinya “tindak kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat terhadap warganegaranya oleh penguasa negara baik di tanah air maupun di luar negeri”. Suatu omong kosong besar dan latah kebohongan, apabila melupakan masa lalu tapi tidak jelas apa masa lalu tersebut yang harus diakuinya lebih dulu.

Untuk menatap masa depan yang rekonsiliatif, tidak mungkin tanpa permintaan maaf dari pelaku pelanggaran HAM berat 1965 (penguasa negara) kepada para korban pada umumnya dan korban di luar negeri pada khususnya. Korban di luar negeri tidak bisa dipisah-pisahkan dengan korban di tanah air, sebab kalau tidak ada peristiwa 1965 yang mengakibatkan jutaan korban tak berdosa , termasuk Bung Karno beserta pendukungnya di tanah air, tidak akan mungkin timbul korban pelanggaran HAM di luar negeri.

Di dalam pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 oleh Andi Mattalata di KBRI Den Haag pada tanggal 19 September 2008 yang lalu tentu tidak akan disinggung masalah penegakan kebenaran dan keadilan seperti tersebut di atas. Memang demikianlah yang terjadi.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

MD Kartaprawira: ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. kEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

Oleh MD Kartaprawira*)


Ketika (ex) Menteri Hamid Awaluddin berencana pergi ke Belanda dan Perancis untuk mengadakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 kepada para “Orang Terhalang Pulang” (selanjutnya OTP, termasuk di dalamnya para eks Mahid) karena paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa negara di luar negeri (KBRI), para OTP dengan serius dan cermat mempersiapkan sesuatu yang akan didiskusikan, diusulkan kepada Awaluddin di dalam pertemuan tersebut, sebagai jalan keluar agar sisi negatif UU Kewarganegaraan bisa diperbaiki. Bahkan persiapan itu dirancang bersama-sama dengan beberapa oknum di luar OTP yang “peduli” pada nasib korban. Tetapi Awaluddin ternyata tidak jadi ke Belanda dan Perancis berhubung terjadinya reshafel kabinet, di mana kedudukannya digantikan oleh Andi Mattalata. Jadi keaktifan para OTP dalam masalah tersebut di atas cukup maksimal, sehingga tidak perlu dianjur-anjurkan lagi oleh Mattalata. (Lih. Detikcom, 21-09-2008 Laporan dari Den Haag, Eks Mahid Jangan Pasif). Sebaliknya, Mattalata sebagai menteri hukum dan HAM, jika mempunyai kepedulian dan iktikad baik terhadap para OTP (korban pelanggaran HAM di luar negeri) seharusnya aktif melakukan usaha-usaha riil ke arah tujuan tersebut secara serius melalui perwakilan RI di Den Haag.

Karena Hamid Awaluddin gagal melakukan sosialisasi UU Kewarganegaraan ke Belanda dan Perancis maka organisasi Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland (selanjutnya - LPK65)memandang perlu mengeluarkan Pernyataan dalam press release berkaitan dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 2006 agar diketahui umum.( Lih.: Press Releases - STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 Tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006 TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI http://lbgpk65.blogspot.com/2007/05/statement-lpk-65-tentang-kebijakan.html ) di samping penyiaran beberapa beberapa artikel, wawancara di muat di media cetak dan internet, juga wawancara di Radio, misalnya Radio SMART FM yang dipancarkan oleh 15 jaringannya di seluruh Indonesia. Dalam pernyataan tersebut secara jelas dipaparkan posisi organisasi LPK65 Nederland terhadap UU Kewarganegaraan 2006.

Pada hari Jum’at 19 September 2008 telah berlangsung pertemuan Andi Mattalata dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tema “Sosialisasi UU Kewarganeraan R.I 2006”. Tetapi mengapa KBRI tidak mengundang organisasi-organisasi di Belanda yang anggota-anggotanya sebagian besar adalah para OTP (“Perhimpunan Persaudaraan Indonesia” dan “Lembaga Pembela Korban 65”)? Padahal dua organisasi tersebut adalah organisasi riil dan resmi, yang mempunyai AD/ART dan anggotanya cukup besar, bukan organisasi dari dua atau tiga orang saja.

Memang pada jaman Orde Baru/Suharto antara OTP dan KBRI di luar negeri tidak ada hubungan sama sekali. KBRI kala itu dianggap wakil dari rejim yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965, baik di tanah air maupun di luar negeri. Tapi keadaan tersebut mulai berobah ke arah positif ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) memegang kendali pemerintahan. Untuk menyelesaikan masalah OTP Gusdur mengirimkan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra ke Belanda untuk bertemu dan berdialog dengan para OTP yang akan dipulihkan kembali hak-hak politik dan sipilnya. Pertemuan Yusril dengan OTP diselenggarakan oleh KBRI Den Haag secara serius dan cermat sekali dengan mengundang beberapa orang OTP untuk ikut memikirkan persiapan pertemuan. Bahkan undangan sebanyak 200 buah diserahkan kepada saya (MD Kartaprawira) untuk dibagi-bagikan kepada para OTP di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Republik Ceko dll). Di kala itu kepala perwakilan RI adalah Dubes Abdul Irsan (1998-2002), yang di masa tugasnya hubungan baik antara OTP dan KBRI berkembang bagus. Pada pertemuan/seminar/diskusi yang diselenggarakan KBRI para OTP/organisasinya selalu diundang. Dan sebaliknya ketika para OTP yang dipelopori organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia mengadakan “Peringatan 100 Tahu Bung Karno” Dubes Irsan bersama-sama pejabat-pejabat terasnya selama dua hari berturut-turut menghadirinya (Hari pertama – Seminar, hari kedua – Pertunjukan kesenian). Hubungan timbal balik yang positif telah berlangsung.

Pertemuan tentang Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI oleh A.Mattalata tanggal 19 September 2008 yang lalu agaknya dipersiapkan dengan agenda yang penuh tanda tanya. Sebab LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia sebagai organisasi-organisasi di mana sebagian besar para OTP menjadi nggotanya, tidak diundang. Tapi masih untung ada 2 (dua) orang yang mungkin dapat digolongkan OTP hadir dalam pertemuan tersebut. Jelas pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan tersebut diselenggarakan secara tidak serius. Sehingga memungkinkan timbulnya berbagai pertanyaan: Apakah dengan tidak mengirimkan undangan ke pertemuan tersebut KBRI Den Haag ingin menunjukkan bahwa KBRI Den Haag tidak mengakui eksistensi dua organisasi para OTP: LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia? Dan karenya dua organisasi tersebut tidak perlu digubris, bisa diremehkan begitu saja? Atau memang KBRI tidak menginginkan hubungan baik/normal dengan para OTP/organisasinya?Tentunya masih ada pertanyaan lainnya lagi yang perlu mendapat kejelasan.

Tetapi kalau kita menengok sejarah hubungan KBRI dengan para OTP dan organisasinya, maka pertanyaan tersebut akan sedikit banyak menjadi terang. Ketika Dubes Abdul Irsan diganti Dubes M. Yusuf (2002-2005) telah mulai terjadi perubahan hubungan antara KBRI Den Haag dengan OTP/organisasinya. Hal tersebut nampak ketika KBRI mengadakan acara-acara tertentu atau ketika membacking acara-acara organisasi tertentu, tidak pernah lagi mengundang 2 (dua) organisaasi tersebut di atas (LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia). Alasan bahwa tidak tahu alamat kedua organisasi tersebut adalah absolut tidak dapat dibenarkan. Tapi anehnya mencomot (“mengundang”) orang-perorangan dari anggota kedua organisasi OTP tersebut untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan di KBRI atau pertemuan organisasi yang mendapat backingnya, dijadikan kebijakannya. Apa pula ini artinya? Apakah bukan politik pecah belah terhadap intern masyarakat OTP di Negeri Belanda? Nah itulah pertanyaan yang selalu menggelitik.

Dan yang lebih mencengangkan, mengapa Undangan pertemuan untuk memperingati hari nasional/peristiwa nasional yang penyelenggaraannya dipelopori oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia atau LPK65 tidak pernah disambut oleh KBRI, tanpa alasan yang jelas. Tentunya kalau dubesnya berhalangan, bisa diwakilkan kepada para pejabat bawahannya. Pada suatu Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia misalnya, dubes dan pejabat-pejabat bawahannya tidak hadir memenuhi undangan, padahal organisatornya telah mengosongkan satu deret kursi paling depan. Hal ini terjadi sejak M.Yusuf menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Negeri Belanda.

Tampaknya kebijakan yang demikian itu, yaitu yang menyangkut hubungan para OTP dengan KBRI Den Haag, masih akan diteruskan oleh Kepala Perwakilan RI – Dubes Fanni Habibie (2005-2009) dewasa ini. Misalnya, sangat disayangkan undangan kepada KBRI untuk hadir dalam “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, tidak mendapat sambutan. Bahkan ada keberatan yang disampaikan oleh pihak KBRI tentang ketidak-setujuannya kata “100 Tahun” dicantumkan dalam judul peringatan tersebut. Aneh sekali.

Jalan rata hubungan KBRI dengan sebagian bangsa Indonesia di luar negeri yang “bergelar OTP” yang telah sukses dibangun oleh Dubes Abdul Irsan dulu seyogyanya dan seharusnya dilanjutkan oleh dubes-dubes berikutnya. "Tidak perlu membabat hutan lagi untuk membangun jalan baru". Para OTP di luar negri masih tetap bagian bangsa Indonesia yang keindonesiannya tidak pernah luntur.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

PERTEMUAN MASYARAKAT INDONESIA DI NEDERLAND DENGAN SDR. DARYONO (KETUA LPMD KLATEN)

PERTEMUAN MASYARAKAT INDONESIA DI NEDERLAND
DENGAN SDR. DARYONO

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Klaten
(Diemen, Nederland, 21 September 2008)


Pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembela Korban 1965 (Nederland) hari ini di hadapan saudara-saudara sekalian hadir tamu dari Indonesia Sdr. Daryono, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa di Klaten, seorang korban pelanggaran HAM 1965 yang pernah dimasukkan ke beberapa penjara a.l. di Klaten, Cilacap dan Wonogiri (JawaTengah).

Sdr. Daryono resminya datang ke Eropa/Perancis dalam rangka memenuhi undangan untuk menghadiri FĂŞte de l’HumanitĂ©, pesta Suratkabar L’Humanite di Paris. Selama Pesta HumanitĂ© ini kedatangannya dimanfaatkan untuk kampanye organisasi "SolidaritĂ© Indonesie", yang selama ini telah bekerjasama dengan Sdr. Daryono dan kawan-kawan dalam rangka pembangunan ekonomi paska gempa bumi 2005.

Setelah menghadiri "FĂŞte de l’HumanitĂ©" ini Sdr. Daryono berencana mengunjungi teman-teman di Eropa (Belanda, Jerman dan Swedia) untuk memberi informasi tentang keadaan kehidupan dan kegiatan ex Tapol di Indonesia dan sekaligus untuk membina komunikasi solidaritas antara korban di tanah air dan korban di luar negeri. Itulah secara singkat kira-kira missi Sdr. Daryono.

Lembaga Pembela Korban 1965 menganggap pertemuan hari ini penting sekali, sebab kita akan mendapatkan informasi langsung dari salah satu korban pelanggaran HAM 1965 tentang pengalaman semasa masa kritis ditahun 1965, semasa kehidupan di penjara-penjara, perjuangan mengatasi kesulitan setelah dibebaskan dari penjara, dan kiprah perjuangan bersama-sama organisasi lain dewasa ini untuk menatap masa depan.

Kami korban peristiwa 1965 di luar negeri menganggap informasi dari korban di tanah air akan lebih meneguhkan kesadaran perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi korban peristiwa 1965 secara keseluruhan, yang sampai dewasa ini belum mendapat perhatian dari penyelenggara negara secara serius.

Demikian pula kita perlu menyadari pentingnya komunikasi para korban (organisasi korban) di dalam dan di luar negeri untuk menggalang persatuan demi perjuangan bersama untuk kebenaran dan keadilan.

Sdr. Daryono dilahirkan pada pada tanggal 28 Agustus 1945, adalah Ketua "LPMD" Klaten (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa"). Seperti diketahui Klaten adalah salah satu kabupaten dari wilayah bekas Karesidenan Surakarta, di samping kabupaten-kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Sukaharjo, Wonogiri dan Kotapraja Surakarta sendiri. Seluruh daerah tersebut dulu merupakan daerah basis PKI.
Ketika pecah peristiwa 1965 banyak anggota PKI dan BTI dan organisasi kiri lainnya ditahan dan dibunuh, termasuk ayahanda Sdr.. Daryono yang merupakan Ketua BTI Klaten. Sebagian dimasukkan penjara dan dikirim ke Pulau Buru. Sedang Sdr. Daryono yang ketika itu baru berusia 20 tahun, baru saja tamat belajar di Akademi Pertanian di Klaten termasuk yang dimasukkan ke penjara-penjara a.l. penjara Klaten, Cilacap, Wonogiri.

Setelah bebas dari kamp konsentrasi dan penjara para ex Tapol dari Klaten membentuk Paguyuban yang tujuannya adalah saling bantu membantu dalam mengatasi berbagai kesulitan ekonomi dan politik yang ketika itu mereka hadapi.
Paguyuban itu akhirnya berkembang menjadi organisasi resmi : LPMD -- Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Sdr. Daryono menjadi ketuanya. Anggota LPMD tidak semua eks Tapol, tapi mayoritas adalah keluarga korban.

Sdr. Daryono bersama teman-temannya aktif sekali dalam pemberdayaan petani di pelbagai lapangan misalnya: kerajinan tangan, peternakan, realisasi dalam praktek dana bantuan micro-kredit untuk para bakul (bakul tempe, bakul tahu, bakul buah, tukang reparasi speda dll), pendidikan anak-anak muda yang putus sekolah dengan menyekolahkan ke kursus jahit bagi wanita, dan mengorganisir petani-petani muda (laki-laki) ke dalam kelompok-kelompok terdiri dari 10-15 orang, yang mereka namakan "Taruna Tani" ("Tani Bakti" I dan II) untuk diberi pelajaran soal pertanian. Setelah pendidikan teori mereka langsung praktek, memproduksi pupuk organik dan mengembangkan pertanian organik.

Di samping kegiatan pokok dalam organisasi LPMD, Sdr. Daryono juga aktif di berbagai organisasi yang berkaitan dengan perjuangan korban peristiwa 1965 seperti YPKP, LPR-KROB, dan Pakorba, demikian juga aktif dalam berbagai organisasi petani, dan organisasi-organisasi yang peduli dengan lingkungan, seperti WALHI.


Diemen (Nederland), 21 September 2008

MD Kartaprawira
(Ketua Umum LPK65)

MD Kartaprawira: HARI KEMENANGAN ATAS FASISME JERMAN

HARI KEMENANGAN ATAS FASISME JERMAN

Oleh: MD Kartaprawira

Tanggal 9 Mei adalah hari bersejarah yang patut diperingati dengan hikmat, sebab pada tanggal 9 Mei 1945 kekuasaan Fasis Jerman Nazi yang mengagresi negara-negara di Eropa dan melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan dihancurkan dan dihapuskan dari peta politik dunia. Dan mulai hari itu pulalah rakyat negara-negara Eropa bebas dari penjajahan kekuasaan Fasis Jerman.

Runtuhnya kekuasaan Fasisme Jerman tidak hanya membebaskan rakyat Eropa, tetapi juga memberikan kondisi dan semangat rakyat-rakyat Asia dan Afrika untuk bangkit melawan kaum penjajahnya masing-masing (Inggris, Perancis, Belanda, Belgia. Portugal, Spanyol). Dan semangat anti kolonialisme tersebut mencapai puncaknya sesudah Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955) di mana Bung Karno mengambil peranan penting, sehingga dia menjadi salah satu tokoh politik top di Asia-Afrika yang disegani dan dihormati di dunia internasional.

Meskipun kaum penjajah telah mengalami dan merasakan bagaimana sengsaranya di bawah penjajahan Jerman Nazi, tapi toh mereka sendiri masih tetap melanjutkan politik kolonialismenya. Khusus untuk Indonesia Belanda bahkan melancarkan agresi terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan Rakyat Indonesia yang adil tersebut didasarkan atas doktrin hukum internasional modern bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" (PEMBUKAAN UUD 1945).

Bicara tentang Hari Kemenangan Atas Jerman Nazi mau tidak mau kita mengenang kembali peristiwa sejarah pertempuran besar di medan perang Stalingrad antara tentara Jerman Nazi dan tentara merah (Uni Soviet) pada akhir tahun 1944. Dalam pertempuran tersebut tentara Uni Soviet mengalami kemenangan besar, sehingga Veldmarshal Paulus menyerah tanpa syarat dengan ratusan ribu orang tentaranya menjadi tawanan perang. Sedang puluhan ribu tentara Jerman lainnya mati dalam pertempuran atau kedinginan di medan perang.

Mengapa hal itu begitu penting kita kenang, sebab dari titik kemenangan atas tentara Jerman di medan pertempuran besar Stalingrad itulah tentara Jerman mulai berturut-turut dihancurkan, berlangsung kota demi kota direbut, sehingga tentara Jerman berhasil dihancurkan di seluruh Uni Soviet.

Tapi tentara Uni Soviet tidak berhenti sampai disitu saja, tentara Jerman dikejar terus ke Barat. Maka dibebaskanlah Polandia, Cekoslovakia, Bulgaria, Rumania, Hongaria, Austria, dan bersama-sama dengan kaum patriot-gerilyawan Albania, Yugoslavia melakukan pembebasan atas wilayah-wilayah tersebut. Sedang sebagian wilayah Jerman bersama ibukota Berlin juga berhasil diduduki tentara Uni Soviet. Sesungguhnya kalau tentara Amerika dan sekutunya tidak buka front pertempuran terhadap Jerman Nazi, tentu seluruh Eropa akan dibebaskan dari kekuasaan Jerman Nazi oleh tentara Uni Soviet.

Tapi setelah tentara Uni Soviet maju terus ke barat dan membebaskan satu demi satu negara,dan sebagian besar kekuatan perang Jerman dihancurkan tentara Uni Soviet, barulah Amerika membuka frontnya - Front Barat. Dengan demikian Amerika bisa membebaskan dengan mudah Perancis, Benelux (Belgia, Belanda, Luxemburg), Itali dan sebagian Jerman lainnya, karena menghadapi tentara Jerman yang tidak begitu besar kekuatannya di banding dengan kekuatan Jerman di Front Timur.

Memang politik Amerika dalam Perang Dunia II sangat licik. Mereka membiarkan Uni Soviet bertempur habis-habisan sendirian melawan Jerman, di mana kekuatan tentara Jerman sebagian besar dikerahkan ke front timur menghadapi Uni Soviet. Meskipun Stalin sudah meminta Amerika untuk membuka frontnya (Front Kedua – Front Barat), tapi tidak kunjung dibuka. Agaknya memang Amerika mempunyai perhitungannya sendiri. Dalam dokumen intelejen ternyata menjelang runtuhnya Jerman Nazi, sebagian elit Jerman Nazi telah aktif mengadakan komunikasi dengan pimpinan perang Amerika di Eropa untuk membangun masa depan Jerman setelah Perang Dunia ke-II.

Jadi sesungguhnya musuh utama Amerika adalah Uni Soviet, bukannya Jerman Nazi. Hal tersebut terbukti setelah PD II Uni Soviet terpaksa berhadapan dengan Amerika, yang terus menerus memamerkan kekuatan persenjataannya, di mulai dengan "show" pengeboman kota Nagasaki dan Hiroshima dengan bom atom. Inilah kejahatan melawan kemanusiaan yang tak ada taranya dilakukan Amerika pada Perang Dunia ke-II. Hal tersebut oleh PBB dan institusi HAM internasional tidak pernah dipermasalahkan, apalagi digugat di pengadilan internasional. Dapat dimengerti mengapa Amerika dan sekutunya yang pendekar HAM dalam masalah pemboman Nagasaki dan Hirosima tidak ada perhatiannya.

Dalam mengenang Hari Kemenangan atas Fasisme Jerman sangat penting artinya proses Pengadilan Internasional Neurenberg terhadap penjahat perang dan penjahat melawan kemanusiaan dari para tokoh penting Jerman Nazi. Pengadilan tersebut dilakukan dengan asas berlaku surut dan tidak mengenal batas dalu warsa. Maka sampai kapan pun penjahat Jerman Nazi yang masih hidup dan yang bersebunyi di negara-negara tertentu bisa diseret ke pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya. Seharusnya pengalaman proses Pengadilan Neurenberg tersebut oleh badan Pembentuk UU Indonesia (DPR bersama Presiden) dijadikan dasar pertimbangan dalam membentuk Amandemen UUD 1945 dan UU Pengadilan HAM bagi kasus-kasus Kejahatan HAM berat masa lampau, terutama yang berkaitan peristiwa 1965.

Dalam kesempatan memperingati Hari Kemenangan atas Fasisme Jerman kita perlu menyatakan rasa bangga dan salut setinggi-tingginya kepada para pemuda Perhimpunan Indonesia (a.l. Abdulmadjid, Sunito, Jusuf Muda Dalam, Djajengpratomo, Gondopratomo, Loebis Parlindungan, dan lain-lainnya) yang ikut berjuang melawan fasisme di Negeri Belanda pada Perang Dunia ke-II, dan bagi mereka yang telah meninggal mendoakan semoga arwahnya mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan

Nederland, 09 Mei 2008

Kompas: KETIDAKADILAN MASA LALU

Kompas, Selasa, 4 Maret 2008 02:14 WIB

KETIDAKADILAN MASA LALU

Baskara T Wardaya


Seberkas sinar terang sedang memancar di cakrawala Republik. Dikabarkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM baru membentuk dua Tim Ad Hoc. Yang pertama untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Yang lain untuk menyelidiki kasus penembakan misterius.

Pembentukan kedua tim itu merupakan kelanjutan dari mandat Komnas HAM periode sebelumnya dalam menangani apa yang mereka sebut ?rumpun kejahatan Soeharto? (Kompas, 27/2/2008). Terkait tim untuk tragedi 1965, kiranya hal itu perlu dipandang sebagai sinar terang karena selama ini kita seakan berada dalam kegelapan. Kita masih belum tahu pasti apa persisnya yang terjadi, siapa sebenarnya tokoh-tokoh kunci di baliknya, pembenaran apa yang dipakai oleh pihak-pihak yang terlibat, dan apa sebenarnya dampak tragedi itu pada kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia setelahnya. Itu sebabnya, berita tersebut perlu disambut gembira.

Tunggu dulu

Kita tahu, pada tahun 1965-1966 sebuah peristiwa kemanusiaan yang tragis dan dahsyat terjadi di negeri ini. Namun, apa sebenarnya duduk persoalan dari peristiwa itu? Banyak yang belum tuntas terjelaskan.

Penjelasan resminya adalah pada 1 Oktober 1965 sejumlah orang dari sebuah partai politik tertentu (dalam hal ini Partai Komunis Indonesia) melakukan ?pemberontakan? dengan membunuh sejumlah petinggi militer di Jakarta. Akibatnya, rakyat Indonesia ?marah? dan melakukan pembalasan dengan membunuh secara massal anggota-anggota partai itu.

Dikatakan, para anggota partai itu sudah semestinya dibunuh secara massal karena mereka ateis dan sebelumnya lebih dulu melakukan berbagai tindakan keji. Mereka yang tersisa layak dipenjarakan untuk kemudian bersama seluruh kerabatnya patut terus dicurigai. Karena mereka ini ?jahat?, tidak perlu ada pengadilan ataupun pertanggungjawaban moral.

Meski demikian, penjelasan resmi itu tampaknya masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Misalnya, jika yang terlibat adalah para pemimpinnya, mengapa ratusan ribu pengikutnya harus dibantai? Jika pembunuhan itu terjadi secara spontan, mengapa terjadinya secara bergelombang, bulan Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan baru bulan Desember 1965 di Bali? Mengapa di Jawa Barat tidak terjadi pembantaian massal? Mengapa sejumlah unsur asing dikatakan turut terlibat?

Kebetulan banyak pelaku, saksi, survivor, pengamat politik, maupun sejarawan juga memberi penjelasan, tetapi berbeda dari penjelasan resmi itu. Misalnya, yang menjadi korban ternyata tidak hanya para anggota partai itu, tetapi juga warga masyarakat yang lain; yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 sebenarnya adalah konflik internal institusi tertentu (Anderson dan McVey: 1971); peristiwa itu merupakan bagian dari sebuah ?kudeta merangkak? melawan Bung Karno, dan sebagainya.

Itu sebabnya, pembentukan Tim Ad Hoc tersebut perlu disambut baik. Diharapkan tim itu akan dapat memberi kejelasan apakah pada saat itu memang terjadi pelanggaran HAM berat atau tidak. Sekaligus pembentukan tim ini untuk menunjukkan makin seriusnya masyarakat dalam menangani berbagai ketidakadilan pada masa lalu, sebagai bagian dari upaya membangun masa depan bangsa yang lebih sehat dan lebih berkeadilan.
Pertanyaannya, apakah dengan pembentukan tim itu berarti telah tiba saatnya bagi kita untuk beriang gembira karena ternyata negara telah serius dalam menghormati hak-hak asasi rakyatnya?

Tunggu dulu. Pertama, belum tentu apa yang dibentuk dan dicita-citakan oleh Komnas HAM itu otomatis mencerminkan tekad dan cita-cita keseluruhan aparatus negara.
Kedua, berdasar pengalaman, usaha penyelidikan atas pelanggaran HAM masa lalu biasanya akan berhadapan dengan resistensi yang kuat dari mereka yang merasa terancam posisi dan kepentingannya.

Sinar terang

Jika demikian, bagaimana menyikapi pembentukan tim itu?
Pertama, perlu diacungkan jempol untuk Komnas HAM karena sudah berani mewujudkan mandatnya guna mengangkat persoalan yang sebenarnya mendesak, tetapi selalu tertunda.
Kedua, kinerja tim itu harus didukung. Berhasil atau gagalnya kerja tim tidak hanya bergantung pada para anggotanya, tetapi juga pada kita semua.

Ketiga, entah pada akhirnya tim itu akan berhasil atau tidak, hendaknya pembentukannya dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk terus berjuang demi makin disinarinya momen-momen dalam sejarah kita yang selama ini masih digelapkan supaya kita bisa berjalan dalam terang.
Siapa tahu dengan belajar dari momen- momen itu kita akan memahami apakah tragedi yang berlangsung tahun 1965-66 itu hanya berhenti di situ, ataukah memiliki dampak yang jauh, bahkan sampai sekarang.

Sebagaimana kita tahu, sejak peristiwa itu terjadi, politik Indonesia yang semula bersifat kerakyatan berubah menjadi elitis, yang tadinya antimodal asing menjadi sangat promodal asing. Jika sebelumnya rakyat merupakan pelaku aktif dalam dinamika politik dari tingkat lokal sampai tingkat nasional, setelah itu rakyat dipandang sebagai ?massa mengambang? yang partisipasi politiknya amat dibatasi. Jika sebelumnya pemerintah selalu bersikap hati-hati terhadap modal asing, setelah peristiwa itu modal dari negara-negara lain mudah masuk begitu saja.

Terkait dengan modal asing, negara sering tidak bertindak sebagai pihak yang melindungi kepentingan rakyat terhadap serbuan kepentingan modal, tetapi sebagai pelancar masuknya modal asing dengan acap kali justru mengorbankan kepentingan rakyat. Ironis memang.
Kita berharap apa yang dilakukan Komnas HAM sungguh akan menjadi sinar terang, tidak hanya untuk menyorot masalah ketidakadilan pada masa lalu, tetapi juga untuk memperkokoh langkah kita ke depan sebagai bangsa. Bangsa yang sehat adalah bangsa yang berani belajar dari pengalaman kolektif masa lalunya.

Baskara T Wardaya SJ Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

KOMPAS: Tim "Ad Hoc" Kasus 1965-1966 Dibentuk

Tim "Ad Hoc" Kasus 1965-1966 Dibentuk
Kasus Penembakan Misterius Juga Akan Diselidiki

Kamis, 28 Februari 2008 05:34 WIB

Jakarta, Kompas - Rapat paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Rabu (27/2), memutuskan membentuk tim ad hoc penyelidikan pro justicia untuk kasus 1965-1966 dan kasus penembakan misterius. Tim itu akan bekerja untuk waktu tiga bulan dan jika diperlukan dapat diperpanjang.

Tim ad hoc kasus 1965-1966 akan dipimpin komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurcholis dan tim ad hoc kasus penembakan misterius dipimpin komisioner Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo. Rapat paripurna memutuskan hal itu setelah melihat kajian dan berbagai masukan atas kasus-kasus tersebut.

Menurut keterangan Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Ridha Saleh, tim tersebut akan menyelidiki indikasi adanya dugaan pelanggaran HAM berat. Langkah tersebut merupakan upaya untuk membuktikan apakah dalam dua kasus terse- but terjadi pelanggaran HAM berat.

Dalam rapat paripurna yang berlangsung selama dua hari itu, Komnas HAM juga memutuskan untuk melanjutkan kajian atas kasus Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, DOM Papua, kasus 27 Juli 1996, serta membuat kajian atas kasus Tanjung Priok. Tim kajian kasus DOM Papua akan diketui Ridha Saleh. Tim kajian DOM Aceh akan diketuai oleh komisioner Ahmad Baso.

Tim pengkaji untuk kasus-kasus tersebut akan bekerja selama dua bulan guna memperdalam hasil kajian yang telah dilakukan. Selanjutnya, hasil kajian itu akan kembali dilaporkan dan dibahas dalam rapat paripurna Komnas HAM.

Latar belakang

Ridha Saleh mengatakan, langkah yang diambil Komnas HAM tersebut merupakan langkah lanjut dari upaya yang telah dilakukan oleh komisioner periode sebelumnya. Kala itu, kasus-kasus tersebut dalam masa komisioner Komnas HAM periode 2002-2007 dikenal sebagai rumpun kejahatan Soeharto.

Kajian tersebut kemudian dilanjutkan oleh komisioner periode 2007-2012 sebagai bagian dari mandat yang dilimpahkan oleh komisioner sebelumnya. Oleh komisioner baru, untuk masing-masing kasus dibentuk tim pengkaji dan hasilnya disampaikan dalam rapat paripurna Komnas HAM.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menyambut baik langkah Komnas HAM itu. Namun, ia berharap Komnas HAM tidak terjebak dalam birokratisasi pada kasus DOM Aceh dan DOM Papua. (JOS)

woensdag 18 maart 2009

S.Utomo: Perkara pelanggaran berat HAM Jendral Suharto ......

Perkara pelanggaran berat HAM tidak ada lembaga kedaluwarsa
Jendral Besar Suharto harus di Adili segera dalam perkara :
Pelanggaran HAM Berat tahun 1965 – 1966 dan lainnya
Serta
KKN $ 35 milyar dan trilyunan Rupiah.
Oleh : S. Utomo Ketua Umum DPP LPR KROB.

Sejak Jendral Besar Suharto masuk rumah sakit Pusat Pertamina Jakarta 4 Januari 2008 hingga hari ini, yang hampir satu bulan lamanya orang diramaikan dengan perkara pengadilan Suharto dan pemberiaan maaf padanya. Dalam hal ini masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang berbeda dan bertentangan sesuai dengan kenpentingan dan pandangannya.
Keluarga dan kroni serta sementara pendukung Suharto mengatakan, menuntut agar pengadilan terhadap Suharto dihentikan dan memberi maaf pada Suharto karena jasa – jasanya yang besar. Dipihak lain baik pemerintah dalam hal ini presiden SBY ketua MPR Hidayat Nurwahid, Buyung Nasution, penasihat presiden, Hendardi bekas ketua PBHI dan lain-lainnya termasuk korban orde baru, menyatakan Suharto harus diadili.
Lembaga Perjuangan Rehabilitasi korban Rezim Orba (DPP LPRKROB) berpendapat bahwa Jendral Besar Suharto harus diadili dalam perkara:
1. Melakukan pelanggaran berat kemanusiaan pada tahun 1965 – 1966 dan lain – lainnya.
2. KKN nya sehingga merugikan negara $ 35 milyar menurut almarhum Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo , Dekan Fakultas Ekonomi UI, Penasehat Utama Ekonomi Presiden Suharto waktu itu, dan besan Suharto. Ini belum terhitung korupsi trilyunan Rupiah dalam negeri melalui berbagai cara jalan dan kekuasannya.
Kejahatan besar kemanusiaan menurut kaidah hukum kejahatan internasional dan nasional tidak mengenal lembaga kedaluwarsa, walaupun pelakunya sudah meninggal. Pelanggaran / kejahatan tersebut masih bisa diadili secara in abstain in absentia. Bila orang memberi maaf pada seorang tertentu tetapi belum jelas orangnya, kesalahannya, hukumnya dan permintaan maaf orang tersebut, keluarganya bisa menuntut orang yang memberi maaf itu, karena memfitnah orang yang belum tentu membuat kesalahan / kejahatan , kecuali kalau perbuatan memaafkan itu hanya sekedar basa – basi atau sekedar memenuhi tatacara pergaulan manusia saja. Karena itu sangat tepat sikap dan pendirian presiden DR.Susilo Bambang Yudhoyono, ketua MPR DR. Hidayat Nurwahid , DR Buyung Nasution,Hendardi mantan Ketua PBHI dan banyak orang lain.
Adil dan sahnya pemberian maaf apabila Jendral Besar Suharto diadili sekarang juga baik dalam perkara kejahatan besar kemanusiaan maupun KKN nya , dan pemerintah harus merehabilitasi terhadap korban yang puluhan juta rakyat Indonesia .
Ini sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, Konvenan Hak Sivil dan Politik, Hak Ekosob PBB yang semua ini sudah menjadi hukum positif Indonesia karena sudah di Ratifikasi oleh pemerintah RI, dan harus di laksanakan oleh pemerintah RI. Bila tidak ini juga merupakan pelanggaran berat bagi pemerintah RI,Cq Presiden RI .

Press release LPK'65: DEMI KEBENAARAN DAN KEADILAN USUL AGAR SUHARTO DIBERI AMNESTI HARUS DITOLAK

Press release:

DEMI KEBENARAN DAN KEADILAN
USUL AGAR SUHARTO DIBERI AMNESTI
HARUS DITOLAK

Kejahatan Suharto, penguasa rezim orde baru, begitu bertumpuk-tumpuk sehingga mengakibatkan malapetaka bagi bangsa dan negara Indonesia. Fakta-fakta pelanggaran hukum dan HAM berat mulai dari kasus 1965 sampai kasus-kasus lain (kasus-kasus Tanjung Priok, Jalan Diponegoro, Trisakti, Semanggi, Papua, Aceh dll), tidak bisa disangkal lagi.

Kasus-kasus tersebut adalah menyangkut masalah hukum dan keadilan. Persoalannya apakah hukum di negara Republik Indonesia ini harus ditegakkan atau tidak. Pasal 1 ayat 3 UUD 45 yang menyatakan: "Indonesia adalah negara hukum" harus dilaksanakan atau tidak. Persoalannya, jutaan warga negara Indonesia, korban pelanggaran hukum dan HAM, harus mendapat keadilan atau tidak.
Selama 42 tahun ini belum ada tanda-tanda yang jelas bahwa hukum dan keadilan yang menyangkut kasus-kasus tersebut di atas dijamah secara tuntas oleh “penegak” hukum di Indonesia.

Adanya usul agar Suharto diberi ampun atau diberi amnesty dewasa ini adalah suatu bukti yang tak terbantahkan bahwa pelanggaran hukum dan keadilan yang dilakukan Suharto bersama rezimnya akan di-“legalkan”; sejarah hitam Suharto akan diputihkan melalui amnesty. Terhadap usul ini setiap orang yang peduli akan tegaknya negara hukum di Indonesia harus menolaknya dengan tegas.

Tidak bisa hukum dan keadilan dimanipulasi atas nama rasa iba dan kasihan karena sakitnya Suharto. Harus ditolak juga suatu usul: "Suharto diadili dulu kemudian diampuni", karena ini adalah suatu cara lain memanipulasi hukum dan keadilan. Yang benar adalah kasus hukum (HAM, pidana, perdata) atas Suharto dilaksanakan, kemudian dipikirkan tentang perlu-tidaknya memberi ampun/amnesti. Jadi, bukan otomatis memberi ampun/amnesti kepada Suharto setelah kasusnya diputus di pengadilan.

Apalagi disamping kasus-kasus tersebut di atas, setelah selama 32 tahun memegang kekuasaan Suharto harus bertanggung jawab dalam bidang politik atas pembangunan sistem diktatur militer fasis yang diciptakannya, di mana siapa saja yang berbeda pendapat dengannya telah ia gebug tanpa ampun. Dalam bidang ekonomi Suharto telah menciptakan jalan masuk bagi dominasi kapital monopoli asing yang akhirnya menjarah dan menguras habis semua kekayaan alam Indonesia. Dalam bidang moral Suharto telah menciptakan budaya korupsi dalam masyarakat Indonesia, dari presiden sampai camat dan lurah.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK’65) di Negeri Belanda demi kebenaran dan keadilan menyatakan:
1. Menolak tegas usul agar Suharto, mantan presiden RI dan penguasa rezim Orba, diberi amnesti.
2. Kasus HAM, pidana dan perdata Suharto harus dituntaskan di pengadilan.
3. Masalah amnesty adalah masalah yang menyangkut negara dan bangsa, bukan masalah rasa belas kasihan seseorang terhadap Suharto, yang tidak bisa dijadikan dasar untuk menghapuskan nilai-nilai hukum dan keadilan.
4. Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan secara konsekwen. Siapa saja tidak boleh melanggarnya dan memanipulasinya di negara hukum Indonesia. Hukum diberlakukan untuk semuanya, termasuk Suharto.

Negeri Belanda, 24 Januari 2008
A/n Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK’65):
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardoyo (Sekretaris I)

Roeslan: Sambutan untuk LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK'65)

Sambutan untuk LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK'65)

Suatau tulisan yang luarbiasa, yang telah menggungkap adanya kepincangan- kepincangan dan kemunafikan- kemunafikan dalam praktek pelaksanaan deklarasai HAM sedunia. Tulisan yang dikeluarkan oleh LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK'65), Negeri Belanda, MD Kartaprawira(Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I), telah memberikan kesan pada saya, bahwa masalah HAM dewasa ini sebenarnya sudah merupakan problem tentang sistem, artinya problem HAM sedunia hanya mungkin akan dapat dituntaskan jika: Perampokkan kekayaan alam dan bumi di negeri-negeri yang sedang berkembang seperti di Asia, Afrika dan Latin Amerika, yang dilakukan oleh negeri-negeri kelompok imperialisme neolibaeral AS dan konco-konconya dihentikan, sistem Globalisasi yang mengarah pada penjajahan model baru oleh negara-negara maju yang termasuk dalam the fast progresing natiaon terhadap negara-negara tertinggal, yaitu the slow moving natians, yang telah menyebabkan terjadinya kesenyangan yang ternganga antara negara kaya dan negara miskin, dan antara negara yang berkuasa dengan negara yang tidak berkuasa serupa dengan periode Sosial Darwinism diakhiri. Sebagai contoh misalnya kejaian-kejadian perampokkan besar-besaran sumber-sumber kekayaan alam dan hutan-hutan seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya di Papua Irian barat, Sumatra, Kalimantan dll, yang dampaknya telah memberikan andil pada pemanasan suhu bumi secara gelobal. Dari semua apa yang saya sebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa problem tentang HAM secara hakekat dapat secara singkat dikatakan bahwa PBB dewasa ini sedang menghadapi Krisis pemahaman tentang HAM. Kesimpulan ini tercermin juga dalamtulisan yang di keluarkan oleh LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965, seperti kutipan dibawah ini.

Kutipan : Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas? (kutipan selesai).

Kutipan diatas saya tanggapi sebagai salah satu pencerminan dari adanya krisis pemahaman HAM di kalangan PBB, yang dampaknya akan mengantar PBB pada jalan buntu, sehingga PBB akan kehilangan kepercayaan dari negara-negara yang sedang berkembang dalam usahanya untuk memberantas pelanggaran HAM diseluruh dunia.

Krisis pemahaman HAM yang telah diderita oleh PBB itu antara lain disebabkan oleh karena adanya sikap diskriminasi yang secara sadar dianut oleh PBB. Dengan sendirinya sikap diskriminasi itu tidak berdasarkan pada sesuatu yang hampa, melainkan berdasaknan pada sikap memihak PBB pada pemilik HAM. Baik HAM dan juga Demokrsi itu sebenarnya ada yang punya, ini harus disadari. Adapaun yang punya adalah pemerintah imperialis neoliberal AS dan konco-konconya. Coba saja perhatikan ulah AS dan CIA-nya dalam peristiwa yang diawali oleh G30S 1965. Sudah bukan rahasia lagi bahwa AS dan CIA nya terlibat sebagai dalang peristiwa itu. Oleh karena itulah PBB diam seribu basa dalam menyaksikan peristiwa Genosida yang dilakukan oleh pemerintah diktator militer pimpinan jendral TNI AD Soeharto yang erat hubungannya dengan kepentingan-kepentingan pemerintah AS di Indonesia pada khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya.

Dari pandangan ini tampak jelas bahwa HAM itu sebenarnya ada yang punya, yaitu pemerintah AS. Semua pelanggaran HAM yang menguntungkan pemerintah imperialisme neoliberal AS, selalu akan dilindungi oleh kubu negara-negara imperialsme neoliberal yang menyokong pemerintahan diktator militer orde baru Soeharto yang berkerumun didalam PBB. Dari sinilah PBB telah menderita krisis kesadaran yang parah dalam memahami hakekat HAM yang sebenarnya.
Itulah sebabnya, maka terkesan bahwa PBB telah melakukan diskrininasi dalam menanggapi masalah pelanggaran berat HAM diIndonesia. Hal itu jelas karena masalah pelanggaran berat HAM diIndonesia mempunyai saling hubungan yang erat dengan negara-negara industri besar seperti AS dan konco-konconya. Sedangkan pemegang kekuasaan negara di Indonesia dari sejak jamannya orde baru sampai sekarang secara hakekat tetap tidak berubah. Apa yang dikatakan"Reformasi" hanyalah merupakan taktik pemunduran strategis dari rezim diktator militer fasis orde baru Soeharto, yang digunakan untuk mematahkan perjuangan rakyat Indonesia melawan suatu rezim militer fasis yang telah melakukan pembantaian masal terhadap rakyatnya yang tak bersalah demi untuk memenuhi kehendak imperialisme neoliberal AS dan konco-konconya. Dengan menggunkan idolla Reformasi.

Taktik pemunduran strategis dari rezim orde baru dibuktikan dengan keadaan bahwa kekuasaan negara di NKRI sampai detik ini masih tetap didominasi oleh elemen-elemen imperialisme neoliberal dibawah pimpinanAS, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintahan SBY-JK yang anti demokrasi, seperti yang tercermin dalam ucapan wakil presiden Jusuf Kalla yang disokong juga oleh presiden SBY belum lama ini.

Adalah bukan rahasia lagi bahwa pemerintah SBY-JK itu adalah penerus dari rezim orde baru, yang secara populer kita sebaut pemerinhah orde baru jilit ke dua. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pemerintah SBY-Jk itu dapat di ibaratkan sebagai boneka yang jalannya dikendalikan oleh kekuatan „Invisible hands", dan kekuatan inilah yang sebenarnya memerintah negeri ini. Oleh karena itu jangan heran jika kasus pelanggaran berat HAM, misalnya kasus Munir pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Karena pembongkaran kasus Munir berarti menyingkap tabir asap yang menyelimuti semua pelanggaran berat HAM yang terjadi di NKRI ini.

Kekuatan "Invisible hands" yang mengendalikan kekuasaan politik di NKRI dengan sendirinya tak akan sudi melihat tekat rakyat Indonesia untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok revolusi Agustus 1945, untuk menuju Indonesia yang Berdikari, memberdayakan seluruh hasil kekayaan alamnya demi kesejahteraan seluruh rakyatnya, bukan menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak-budak yang dijual keseluruh pelosok dunia olah pemerintah SBY-JK selama ini. Oleh karena itu pulalah , maka PBB kurang menaruh perhatian atas pelanggaran berat HAM di Indonesia, yang telah dilakukan oleh suatu rezim ciptaan Imperialisme neoliberal AS,yang mendominasi kekuatan politik di PBB. Sikap PBB seperti itulah pula yang juga menjadi sebab terjadinya krisis pemahaman terhadap HAM secara keseluruhan.

Sebagai dampak dari adanya kekuasaan Bayangan „Invisible hands", maka untuk penegakkan kebenaran dan keadilan di NKRI juga mengalami rintangan besar. Sebab para penguasa dan para penegak hukum di NKRI sekarang ini hanya mengakui kebenaran tekstuil yang ditulis oleh para interogator yang diperoleh dengan cara paksa dan penyiksaan terhadap para tertuduh, tanpa disertai oleh bukti-bukti yang sudah teruji kebenarannya, tapi hanya mengikuti kehendak dari jendral Soehartö sebagai orang nomor satu di era rezim orde baru ketika itu. Ini tercermin juga dalam tulisan LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965(LPK'65) yang menulis, saya kutip :

Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S. Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak hukum. Dus, kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang dinamakan negara hukum. (kutipan selesai)

Dari kutipan diatas jelas dapat dilihat bahwa pembantaian jutaan rakyat yang tak bersalah dan pembuangan ribuan rakyat ke pulau Buru dan juga penjeblosan ke penjara-penjadra diseluruh nusantara hanya berdasarkan pada rekayasa menurut kebenaran tekstual yang di buat oleh para interogator militer fasis Indonesia itu sendiri, tanpa disertai dengan bukti-bukti yang nyata. Semua perbuatan pemerintah orde baru adalah sepenuhnya untuk menyenangkan majikannya yang tak lain adalah imperialisme neoliberal AS, yang secara hakekat telah mendominasi kekuasaan politik di PBB, sehingga bisa berbuat sebagai polisi dunia.

Jika kita berkehendak untuk meluruskan penegakkan HAM sedunia, maka kita harus mempunyai strategi sebagai pisau yang bermata dua. Artinya kedalam kita tak henti-hentinya memperjuangkan untuk ditegakkannya HAM secara jujur dan keluar kita terus kritik secara keras cara kerja PBB dalam masalah HAM yang nampak diskiminatif. Jika kita berhasil menegakkan HAM di dalam negeri, maka effeknya akan memberi pengaruh pada perjuangan penegakkan HAM diseluruh dunia.

Roeslan.

P.S. Red.:
Tulisan tersebut di atas adalah tanggapan atas artikel Lembaga Pembela Korban '65 di Milis HKSIS, 17 Desember 2007, yang juga dimuat di Milis-milis: Nasional-list, Wahana-News, Perhimpunan Persaudaraan, Sastra Pembebasan dengan judul: HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (Menyambut Hari HAM Sedunia Tahun 2007)

LPK'65: HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66

HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66
(Menyambut Hari HAM Sedunia, Tahun 2007)


Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat perlindungan, jutaan manusia sampai abad XIX masih berstatus budak, yang kehilangan hak-hak asasinya dan dianggap sebagai benda yang dapat diperjual belikan.

Baru di abad XX dengan meningkatnya kesadaran akan rasa keadilan dan kemanusiaan maka lahirlah Deklarasi HAM Sedunia PBB. Meskipun demikian deklarasi tersebut hanyalah suatu deklarasi semata-mata, yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi negara anggota PBB, apalagi bagi negara yang tidak menjadi anggota PBB. Hanya sesudah materi dari deklarasi tersebut diadopsi di dalam perundang-undangan (konstitusi, UU dan lain-lain nya) negara bersangkutan barulah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat .

Meskipun UUD 1945 (asli) tidak memuat banyak pasal tentang HAM tetapi hal itu tidak berarti bahwa RI tidak menyetujui HAM. Sebab Dasar Negara Pancasila memuat inti dasar dari norma-norma HAM. Di samping itu dalam Pembukaan UUD 1945 memuat suatu pernyataan tentang hak asasi yang lebih agung dan mulia nilainya, sebab sifatnya tidak individualistik, melainkan sifat kolektif besar manusia – bangsa: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Deklarasi yang ter cantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut lahir 3 tahun lebih awal dari pada Deklarasi HAM Sedunia, dan yang lebih super-penting lagi deklarasi dalam UUD 1945 tersebut adalah deklarasi Hak Asasi mengenai hak dan kedaulatan atas tanah air, atas sumberdaya alam yang berabad-abad telah dirampas oleh kaum kolonialis. Jelas di sini terdapat dikotomi antara penjajah dan yang dijajah, yang tidak mungkin dikaburkan. Sedang HAM dari Deklarasi PBB hanyalah bersifat perorangan – individualistik, meskipun tidak diragukan arti pentingnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi individualisme (nyawa dari ideologi libralisme) ini di era globalisasi bisa mencampur-adukkan atau mengaburkan antara sipenjajah dan yang dijajah dengan selimut hak kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya. Jelasnya, dalam era globalisasi neokolonialisme bisa menggunakan baju HAM. Maka kita harus dengan bijak menggunakan HAM, jangan latah, jangan sampai HAM menelan HAB – hak asasi bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan kedaulatan atas kekayaan alamnya.

Setelah mencapai kemerdekaan, stadium selanjutnya bagi bangsa Indonesia ialah berjuang menegakkan nilai-nilai HAM. Ketentuan-ketentuaa n hak asasi manusia yang tercantum dalam dokumen PBB (Deklarasi HAM Sedunia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi dan Sosial-budaya, dll) sudah diratifikasi dan diadopsi dalam perundang-undangan Indonesia. UUD 1945 setelah mengalami 4 kali amandemen telah memuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. UU organik juga sudah terbentuk. Dengan telah terbentuknya UU Pengadilan HAM, seharusnya banyak kasus pelanggaran HAM yang sudah bisa dituntaskan. Tapi kenyataannya tidak demikian. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak mendapat penyelesaian semestinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan tidak ditegakkan. Bisa dihitung dengan jari mengenai berapa kasus HAM yang sudah diselesaikan oleh Pengadilan.

Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S. Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak hukum. Dus, kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang dinamakan negara hukum.

Dalam usaha penegakan kebenaran dan keadilan, berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66, tampak ada dua jalan: pertama melalui pengadilan HAM dan kedua melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Jalan Pengadilan HAM agaknya sangat sulit dilaksanakan. Sebab terlalu banyak oknum yang berkepentingan agar jalan tersebut tertutup. Mantan rejim Suharto dan pendukungnya yang sampai sekarang masih berperan di mana-mana tidak menghendaki adanya pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sedang jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan jalan kompromi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau (terutama yang berkaitan dengan tahun 1965-66) ternyata mengalami kegagalan, sebab UU KKR 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun UU KKR tersebut jelas tidak akan menghasilkan keadilan sejati, sebab masih menyisakan eksistensi impunity, toh telah dimatikan sebelum sempat berjalan.
Kalau kedua jalan tersebut dewasa ini tidak dapat ditembus, berarti para korban pelannggaran HAM berat masa la mpau (1965-66) sampai waktu tak tertentu tidak bakal mendapatkan keadilan. Tampaknya masa waktu 42 tahun yang telah dilalui masih harus diperpanjang lagi. Sampai kapan, itulah pertanyaannya.

Berhubung dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Ifdhal Kasim, Ketua KOMNAS HAM baru mempunyai niat untuk melaksanakan fungsinya sebaik mungkin sebagai penanggung jawab kebijakan institusi penegak HAM. Hal ini perlu didukung dan disokong sepenuhnya. Hanya kepada Ifdhal Kasim diharapkan agar pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM masa lampau tidak mengulang atau melanjutkan praktek diskrimnatif (pilih kasih) seperti telah diterangkan di atas. Kami (para korban) melihat penanganan kasu s korban pelanggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sangat minim sekali, sehingga terasa adanya perlakuan diskriminasi. Padahal pendiskriminasian penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut di atas identik dengan membiarkan berlangsungnya ketidak adilan dan eksistensi impunitas. Dan bersamaan dengan itu tersirat arti pembenaran terhadap tindak kejahatan melawan kemanusiaan.

Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas?

Adalah suatu hal yang positif putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, bahwa: “Mantan terpidana kealpaan dan politik dapat menjadi pejabat publik”. Pejabat publik bisa diartikan sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota dan lai-lainnya. Sekali lagi kita tidak melihat jamahannya kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965-66. Mereka ini bukan orang-orang terpidana politik, sebab tidak pernah diproses berdasar hukum, tetapi orang-orang yang dilanggar hak asasinya. Mereka bukan pelaku kejahatan, tetapi mereka adalah korban tindak kejahatan kemanusiaan. Contoh: ribuan orang yang dibuang ke pulau Buru belasan tahun tidak pernah dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum. Mereka di sana mendapat perlakuan yang biadab dan disiksa dengan kejam.

Kalau mantan terpidana politik (jadi ada putusan pengadilan) saja menurut Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pejabat publik, maka mantan tapol pulau Buru (korban pelanggaran HAM , bukan mantan terpidana) secara logika mestinya menjadi pejabat publik bukan masalah lagi. Tapi sebaliknya mereka ini bahkan mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sangat jelek – bertentangan dengan HAM, misalnya tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi guru dan larangan-larangan lainnya, bahkan pernah KTPnya ditempeli kata “ET” sehingga di mana-mana mendapatkan kesulitan dalam hidupnya.

Dan kalau penegak hukum berkemauan menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan maka mudah saja menunjuk hidung siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965-66, yaitu penguasa-penguasa militer rejim Suharto pada waktu itu. Sebab merekalah yang membuang orang-orang terseb ut di atas ke pulau Buru dan menjebloskan ke dalam penjara-penjara. Tidak perlu susah-susah njlimet mencari data-data, sebab semuanya ada di arsip kopkamtib (kalau belum keburu dimusnahkan) . Bahkan kalau pun dokumen-dokumen tersebut sudah dimusnakan, mestinya fakta pembuangan ke pulau Buru saja sudah merupakan bukti kuat yang tak terbantahkan tentang adanya pelanggaran HAM berat.

Sayang sekali hal tersebut di atas tidak mendapat singgungan dari Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia tahun ini dijadikan bagian tema penting demi transparansi dan sosialisasi penegakan HAM, Keadilan dan Konstitusi di Indonesia.

Tampak perjuangan untuk tegaknya Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih jauh dari sukses untuk menggeser sasarannya dari titik mati. Sedang diskriminasi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM (terutama kasus pelanggaran HAM berat 1965-66) masih terus berjalan. Kalau penyelenggara negara dan lembaga-lembaga HAM menyadari hal-hal tersebut di atas penanganan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 paling tidak harus berjalan sejajar/paralel dengan penanganan masalah pelanggaran HAM lainnya. Mengingat besarnya korban pelanggaran HAM berat 1965-66 maka penyelesaian hukum secara adil kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 seharusnya mendapat prioritas utama. Semoga masa depan penyelesaian masalah tersebut mempunyai perspektif yang positif bagi penegakan demokrasi, keadilan dan HAM.

LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK’65), Negeri Belanda,
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

Nurdiana: NUSANTARA BULAN SEPTEMBER

NURDIANA:

NUSANTARA
BULAN SEPTEMBER.

Di langit ke tujuh,
riuh gemuruh,
bersama bidadari ria menari,
gentayangan arwah jutaan korban siksaan tirani orba,
bersenandung kidung
berdendang lantang,
rentangkan lengan
mengurai jari-jemari menari,
genjer-genjer,
di bulan September.

Di belahan Utara jagat raya,
belibis liar beterbangan
ke arah Selatan hindari ancaman kedinginan,
bayu sejuk membelai hamparan daratan dan pegunungan,
dedaunan kekuningan berjatuhan,
menyambut datang musim gugur yang nyaman.

Di bumi belahan Selatan,
burung-burung berkicauan,
mengiringi wangi
bunga-bunga mekar menyambut musim semi.

Di langit ke sembilan,
tersedu pilu Dewi Keadilan,
gundah gulana keadilan diperkosa
penguasa orba Nusantara.

Di khatulistiwa,
bagai petir di siang bolong membahana,
bulan Agustus Mahkamah Agung titisan orba,
memenangkan gugatan sang Tiran,
memvonis denda satu trilyun rupiah
majalah Time yang membongkar dosa
rahasia pencurian harta negara.

Tiran dapat lindungan,
yang anti tirani dapat hukuman,
keadilan diperkosa,
pembodohan bersimarajalela.

Awas ! Awaslah !!!
Tanda bahaya bagi wartawan sang Ratu Adil,
tantangan bagi rakyat berani-berani
menuntut Tiran diadili.

Di kala Sang Tiran senyum menyeringai tersipu menang,
dan para antek tengah bergendang paha,
di New York berkumandang pengumuman:
Soeharto Tiran
adalah koruptor Agung
nomor wahid di jagat raya !

Ke arah mana angin bertiup ?

Satu-satu dijajarkan:
para gembong koruptor dunia,
penghisap kekayaan negara,
berlomba kelihayan menimba dosa,
dari Filipina, Nigeria, Peru, Konggo……
sang juara adalah Soeharto.

Di Cili Pinochet diseret ke meja hijau,
di Filipina Estrada di vonis seumur hidup,
di Peru Fujimori diajukan ke pengadilan,
semua mantan Kepala Negara,
penguasa,
maling raksasa kekayaan negara.

Masih berapa lama para pembela orba,
bertulang-punggung Golkar tambah senjata,
bisa menggalakkan pembodohan,
dan bertahan melindungi Tiran ?

Putusan Mahkamah Agung memenangkan gugatan Tiran,
perkosaan keadilan dan pembodohan,
menyatakan Pancasila sakti,
hingga ada Hari Kesaktian Pancasila,
dan pembakaran buku-buku sejarah,
jelas-jemelas pembodohan terang-terangan.

Asal ada kebebasan,
rakyat tak bodoh,
punya mata dan telinga,
ada Aditjondro menelanjangi harta karun haram,
ada Umar Said menghimpun fakta dosa Soeharto,
ada Asvi Warman melawan pembakaran buku sejarah,
dan banyak lainnya insan-insan jujur yang tahu kebenaran,
yang tak mempan dilalap pembodohan.

Di kala Nusantara dilanda duka nestapa,
mengenang arwah jutaan korban kebiadaban orba,
kini bertiup angin nyaman,
lah kian sempit ruang sembunyi bagi sang Tiran.

Sejarah kan menyaksikan,
kebangkitan rakyat tak tertahan,
mengutuk dosa tak berampun Soeharto sang Tiran,
gelombang rakyat bangkit berlawan,
kan bagai lahar Merapi membludak,
melanda musnah penguasa orba.

Kaum yang ditindas orba kian bangkit.
kaum yang dibodohkan bertambah sadar.

Dunia sedang berganti rupa !!!.


*****


29 September 2007.

(Menyambut Peringatan 42 Tahun Tragedi Nasional 1965)