woensdag 18 maart 2009

LPK'65: HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66

HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66
(Menyambut Hari HAM Sedunia, Tahun 2007)


Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat perlindungan, jutaan manusia sampai abad XIX masih berstatus budak, yang kehilangan hak-hak asasinya dan dianggap sebagai benda yang dapat diperjual belikan.

Baru di abad XX dengan meningkatnya kesadaran akan rasa keadilan dan kemanusiaan maka lahirlah Deklarasi HAM Sedunia PBB. Meskipun demikian deklarasi tersebut hanyalah suatu deklarasi semata-mata, yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi negara anggota PBB, apalagi bagi negara yang tidak menjadi anggota PBB. Hanya sesudah materi dari deklarasi tersebut diadopsi di dalam perundang-undangan (konstitusi, UU dan lain-lain nya) negara bersangkutan barulah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat .

Meskipun UUD 1945 (asli) tidak memuat banyak pasal tentang HAM tetapi hal itu tidak berarti bahwa RI tidak menyetujui HAM. Sebab Dasar Negara Pancasila memuat inti dasar dari norma-norma HAM. Di samping itu dalam Pembukaan UUD 1945 memuat suatu pernyataan tentang hak asasi yang lebih agung dan mulia nilainya, sebab sifatnya tidak individualistik, melainkan sifat kolektif besar manusia – bangsa: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Deklarasi yang ter cantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut lahir 3 tahun lebih awal dari pada Deklarasi HAM Sedunia, dan yang lebih super-penting lagi deklarasi dalam UUD 1945 tersebut adalah deklarasi Hak Asasi mengenai hak dan kedaulatan atas tanah air, atas sumberdaya alam yang berabad-abad telah dirampas oleh kaum kolonialis. Jelas di sini terdapat dikotomi antara penjajah dan yang dijajah, yang tidak mungkin dikaburkan. Sedang HAM dari Deklarasi PBB hanyalah bersifat perorangan – individualistik, meskipun tidak diragukan arti pentingnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi individualisme (nyawa dari ideologi libralisme) ini di era globalisasi bisa mencampur-adukkan atau mengaburkan antara sipenjajah dan yang dijajah dengan selimut hak kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya. Jelasnya, dalam era globalisasi neokolonialisme bisa menggunakan baju HAM. Maka kita harus dengan bijak menggunakan HAM, jangan latah, jangan sampai HAM menelan HAB – hak asasi bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan kedaulatan atas kekayaan alamnya.

Setelah mencapai kemerdekaan, stadium selanjutnya bagi bangsa Indonesia ialah berjuang menegakkan nilai-nilai HAM. Ketentuan-ketentuaa n hak asasi manusia yang tercantum dalam dokumen PBB (Deklarasi HAM Sedunia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi dan Sosial-budaya, dll) sudah diratifikasi dan diadopsi dalam perundang-undangan Indonesia. UUD 1945 setelah mengalami 4 kali amandemen telah memuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. UU organik juga sudah terbentuk. Dengan telah terbentuknya UU Pengadilan HAM, seharusnya banyak kasus pelanggaran HAM yang sudah bisa dituntaskan. Tapi kenyataannya tidak demikian. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak mendapat penyelesaian semestinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan tidak ditegakkan. Bisa dihitung dengan jari mengenai berapa kasus HAM yang sudah diselesaikan oleh Pengadilan.

Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S. Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak hukum. Dus, kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang dinamakan negara hukum.

Dalam usaha penegakan kebenaran dan keadilan, berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66, tampak ada dua jalan: pertama melalui pengadilan HAM dan kedua melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Jalan Pengadilan HAM agaknya sangat sulit dilaksanakan. Sebab terlalu banyak oknum yang berkepentingan agar jalan tersebut tertutup. Mantan rejim Suharto dan pendukungnya yang sampai sekarang masih berperan di mana-mana tidak menghendaki adanya pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sedang jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan jalan kompromi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau (terutama yang berkaitan dengan tahun 1965-66) ternyata mengalami kegagalan, sebab UU KKR 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun UU KKR tersebut jelas tidak akan menghasilkan keadilan sejati, sebab masih menyisakan eksistensi impunity, toh telah dimatikan sebelum sempat berjalan.
Kalau kedua jalan tersebut dewasa ini tidak dapat ditembus, berarti para korban pelannggaran HAM berat masa la mpau (1965-66) sampai waktu tak tertentu tidak bakal mendapatkan keadilan. Tampaknya masa waktu 42 tahun yang telah dilalui masih harus diperpanjang lagi. Sampai kapan, itulah pertanyaannya.

Berhubung dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Ifdhal Kasim, Ketua KOMNAS HAM baru mempunyai niat untuk melaksanakan fungsinya sebaik mungkin sebagai penanggung jawab kebijakan institusi penegak HAM. Hal ini perlu didukung dan disokong sepenuhnya. Hanya kepada Ifdhal Kasim diharapkan agar pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM masa lampau tidak mengulang atau melanjutkan praktek diskrimnatif (pilih kasih) seperti telah diterangkan di atas. Kami (para korban) melihat penanganan kasu s korban pelanggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sangat minim sekali, sehingga terasa adanya perlakuan diskriminasi. Padahal pendiskriminasian penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut di atas identik dengan membiarkan berlangsungnya ketidak adilan dan eksistensi impunitas. Dan bersamaan dengan itu tersirat arti pembenaran terhadap tindak kejahatan melawan kemanusiaan.

Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas?

Adalah suatu hal yang positif putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, bahwa: “Mantan terpidana kealpaan dan politik dapat menjadi pejabat publik”. Pejabat publik bisa diartikan sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota dan lai-lainnya. Sekali lagi kita tidak melihat jamahannya kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965-66. Mereka ini bukan orang-orang terpidana politik, sebab tidak pernah diproses berdasar hukum, tetapi orang-orang yang dilanggar hak asasinya. Mereka bukan pelaku kejahatan, tetapi mereka adalah korban tindak kejahatan kemanusiaan. Contoh: ribuan orang yang dibuang ke pulau Buru belasan tahun tidak pernah dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum. Mereka di sana mendapat perlakuan yang biadab dan disiksa dengan kejam.

Kalau mantan terpidana politik (jadi ada putusan pengadilan) saja menurut Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pejabat publik, maka mantan tapol pulau Buru (korban pelanggaran HAM , bukan mantan terpidana) secara logika mestinya menjadi pejabat publik bukan masalah lagi. Tapi sebaliknya mereka ini bahkan mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sangat jelek – bertentangan dengan HAM, misalnya tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi guru dan larangan-larangan lainnya, bahkan pernah KTPnya ditempeli kata “ET” sehingga di mana-mana mendapatkan kesulitan dalam hidupnya.

Dan kalau penegak hukum berkemauan menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan maka mudah saja menunjuk hidung siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965-66, yaitu penguasa-penguasa militer rejim Suharto pada waktu itu. Sebab merekalah yang membuang orang-orang terseb ut di atas ke pulau Buru dan menjebloskan ke dalam penjara-penjara. Tidak perlu susah-susah njlimet mencari data-data, sebab semuanya ada di arsip kopkamtib (kalau belum keburu dimusnahkan) . Bahkan kalau pun dokumen-dokumen tersebut sudah dimusnakan, mestinya fakta pembuangan ke pulau Buru saja sudah merupakan bukti kuat yang tak terbantahkan tentang adanya pelanggaran HAM berat.

Sayang sekali hal tersebut di atas tidak mendapat singgungan dari Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia tahun ini dijadikan bagian tema penting demi transparansi dan sosialisasi penegakan HAM, Keadilan dan Konstitusi di Indonesia.

Tampak perjuangan untuk tegaknya Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih jauh dari sukses untuk menggeser sasarannya dari titik mati. Sedang diskriminasi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM (terutama kasus pelanggaran HAM berat 1965-66) masih terus berjalan. Kalau penyelenggara negara dan lembaga-lembaga HAM menyadari hal-hal tersebut di atas penanganan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 paling tidak harus berjalan sejajar/paralel dengan penanganan masalah pelanggaran HAM lainnya. Mengingat besarnya korban pelanggaran HAM berat 1965-66 maka penyelesaian hukum secara adil kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 seharusnya mendapat prioritas utama. Semoga masa depan penyelesaian masalah tersebut mempunyai perspektif yang positif bagi penegakan demokrasi, keadilan dan HAM.

LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK’65), Negeri Belanda,
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

Geen opmerkingen:

Een reactie posten