donderdag 19 maart 2009

MD Kartaprawira: 60 TAHUN DEKLARASI SEJAGAD HAK ASASI MANUSIA: 43 TAHUN MACET DI INDONESIA

60 TAHUN DEKLARASI SEJAGAD HAK ASASI MANUSIA: 43 TAHUN MACET DI INDONESIA

Oleh: MD Kartaprawira*

Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948 tak bisa dinegasikan arti pentingnya dalam kehidupan manusia. Dengan norma-norma HAM yang muncul kemudian di dalam perundang-undangan negara-negara di dunia secara yuridis setiap manusia di dalam sesuatu negara harus dijamin hak asasinya oleh negara. Di dalam UUD 1945 (Amandemen) dimuat sebagian besar norma-norma HAM yang telah dituangkan di dalam deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi PBB. Seharusnya bangsa Indonesia bangga dan merasa lega akan terlindungi hak-hak asasinya. Tapi ternyata hal tersebut hanya lamunan belaka, sebab banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak mendapatkan penyelesaian sebagaimana mestinya. Bahkan sangat memrehatinkan sekali dan sangat kontradiktif mengapa di Indonesia yang dasar filsafatnya Pancasila dan telah mengadopsi sebagian besar norma-norma HAM yang di keluarkan PBB di dalam UUD 1945, makin berkembang pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, misalnya dalam bidang pendidikan, perburuhan, kehidupaan beragama dll.

Mencari akar permasalahannya haruslah hati-hati dan tidak gegabah tanpa logika. Pertama, kita harus conditio sine qua non mengakui eksistensi Negara Indonesia (NKRI) dan Bangsa Indonesia. Kedua, negara dan bangsa ini nasibnya ditentukan oleh penyelenggara negara (Pemerintah, DPR, BPK, MA, dll). Jadi kalau keadaan negara dan bangsa kacau balau, maka yang digugat untuk dimintakan pertanggung-jawabannya adalah penyelenggara negara. Sebab merekalah yang mendapat tugas dan kewajiban mengelola kepentingan negara dan bangsa, dan mereka memakan gaji dari pajak rakyat. Jangan keblinger dan latah: malahan menghujat NKRI dan Bangsa Indonesia, jangan terperosok ke jurang komplotan disintegrasi dan separatisme.

Dalam hal masalah pelanggaran HAM (berat dan ringan, masa kini dan masa lalu), penyeleggara negaralah yang harus didesak dan dituntut untuk bertanggung jawab menuntaskannya. Memang tidak perlu hanya berkonsentrasi pada masalah pelanggaran HAM berat 1965, tapi masalah tersebut harus mendapat penanganan yang serius dan seimbang dengan masalah pelanggaran HAM lainnya. Meskipun sesungguhnya korban 3 juta nyawa, puluhan ribu orang dijebloskan ke pulau Buru dan penjara-penjara lainnya berkaitan dengan peristiwa 1965 seharusnya mendapat perhatian prioritas pertama. Tentu saja mengandalkan kepada rejim Suharto untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat tersebut di atas adalah suatu hal yang tidak mungkin. Tapi anehnya pada era reformasi ini, pasca lengsernya Suharto pun ternyata keadaannya idem dito – sama saja, tidak ada perubahan. Bahkan tampak jelas adanya diskriminasi terhadap penanganan masalah pelanggaran HAM berat 1965 dibanding dengan masalah HAM lainnya. Sampai dewasa ini KOMNAS HAM pun belum menghasilkan sesuatu yang berarti bagi penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat 1965.

Belum lama ini terbetik berita bahwa Komnas HAM akan mengadakan penyelidikan ke pulau Buru untuk mengumpulkan data-data bukti tentang pembuangan puluhan ribu orang tak berdosa ke pulau Buru. Nonsence besar!!! Apakah Komnas HAM mempunyai keragu-raguan atas fakta pembuangan ribuan orang ke pulau Buru? Tidak usah jauh-jauh mecari bukti/data pelanggaran HAM berat tersebut, terlalu banyak uang negara dihambur-hamburkan. Jalan pendek dan efektif cukup dilakukan di Jakarta saja, yaitu bongkar semua dokumen arsip KOPKAMTIB. Masalahnya berani atau tidak Komnas HAM melakukan dobrakan-dobrakan. Bukankah mereka (para korban) diangkut ke pulau Buru oleh militer dan dengan kapal militer? Atas perintah Suharto bersama Kopkamtib? Sumber bukti lainnya lagi, yaitu bukti-saksi para mantan tapol pulau Buru yang dibebaskan Rejim Suharto pada tahun 1970-an karena “desakan” tuan besar dari “seberang lautan” yang merasa dirugikan dengan tingkah politik rejim Suharto, meskipun dulu membantunya. Komnas HAM seharusnya bisa melakukannya, jangan tunda-tunda waktu lagi sebab kebanyakan para korban sudah tua-renta.

Penyelenggara negara dewasa ini berkewajiban menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat 1965 dan pelanggaran HAM masa lalu lainnya (Tanjung Priok, Trisakti, Jalan Diponegoro dll.), sebab mereka adalah pewaris tanggung jawab penyelenggra negara masa lalu (rejim Suharto). Bagi penyelenggara negara dewasa ini tidak ada satu pun alasan untuk menghindarkan tanggung jawab tersebut di atas. Karena jaminan atas perlindungan hak asasi manusia jelas tercantum dalam UUD 1945 dan perundang-undangan organik lainnya, dengan demikian pencapakkan atau pengingkaran penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat 1965 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah dan DPR seharusnya menyadari hal tersebut, sebab rakyat tidak bisa dibohongi dan ditakut-takuti lagi.

Telah 60 tahun dideklarasikan ke seluruh dunia Hak Asasi Manusia oleh PBB, yang kemudian juga didirikan Komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Jenewa. Ternyata organ internasional tersebut pun tetap buta, tuli dan bisu terhadap masalah pelanggaran HAM berat 1965 di Indonesia yang korbannya luar biasa besarnya.
Tentu saja tidak boleh menegasikan pencapaian-pencapaian positip dalam penanganan masalah pelanggaran-pelanggaran HAM tertentu di Indonesia yang tidak berkaitan dengan pelanggaran masa lalu yang dilakukan oleh penguasa rejim Suharto. Tetapi mendiamkan, melupakan, menterbengkalaikan, apalagi mengabaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965 adalah kesalahan dan aib besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mempunyai filsafat Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 yang mengandung norma-norma hak asasi manusia.
Dalam kesempatan menyambut ULTAH 60 TAHUN DEKLARASI SEJAGAD HAK ASASI MANUSIA kepada segenap penyelenggara negara, terutama Pemerintah dan DPR diserukan: “Sadarlah akan perlunya penegakan kebenaran dan keadilan dalam melaksanakan HAM di Indonesia, apalagi bagi bangsa dan warganegaranya sendiri. Kemudian rintislah jalan ke arah tujuan itu. Kemacetan jalan selama 43 tahun sudah lebih dari cukup untuk membuka hati nurani dan menyadari perlunya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat 1965 di tanah air maupun di luar negeri.”

Nederland, 10 Desember 2008
*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

Geen opmerkingen:

Een reactie posten