vrijdag 13 maart 2009

Sambutan F.C.Panggidaej pada Peringatan Wafatnya Bp. Sidik Kertapati

Para hadirin Yth.
Kawan-kawan,

Pada hari ini, 12 Agustus 2007, kita memperingati wafatnya Kawan Sidik Kertapati, atau Bung Heru panggilan akrabnya; fikiran saya sebagai kawan seperjuangannya dan segenerasinya, melayang ke hari-hari dan waktu yang sama pada enam-puluh-dua tahun yang lalu: bulan Agustus 1945.
Betapa tidak! Sidik Kertapati namanya tidak terpisahkan dari peristiwa bersejarah bagi rakyat dan bangsa Indonesia: Proklamasi 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Adalah antara lain berkat tulisannya “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945” yang untuk pertama kali diterbitkan pada tahun 1957 oleh penerbit Pustaka Pena, bahwa rakyat Indonesia dan terutama generasi-generasi mudanya sekarang dan di hari depan akan dapat mengenal dan belajar dari sejarah lahir dan proses membesarnya tanah air: Republik Indonesia ― sebagaimana dituturkan oleh salah seorang pelakunya sendiri!

Dalam buku kecil itu dia mulai dengan menggambarkan masa berkuasanya nazi-isme Hitler di Eropa dan peristiwa militerisme Jepang di Asia. Pada masa itu sekitar tahun-tahun akhir tigapuluhan dan awal empatpuluhan abad yang lalu sudah terbentuk juga suatu front demokrasi anti-fasis di Indonesia yang mendapat dukungan antara lain dari Dr. Cipto Mangunkusumo.
Perjuangan untuk membangkitkan kesedaran anti-fasis di kalangan massa rakyat berat. Amat dipersulit oleh penindasan penguasa kolonial Belanda yang menjadi-jadi. Di tengah-tengah usaha patriot-patriot bangsa Indonesia untuk membangkitkan kesedaran anti-fasis rakyat Indonesia menjelang pendudukan Jepang, pemerintah kolonial Belanda telah menangkap pejuang-pejuang anti-fasis Indonesia. Mereka dijebloskan di kamp-kamp konsentrasi yang dikelilingi kawat berduri di Garut. Di antara mereka terdapat antara lain Sidik Kertapati, S.K. Trimurti, Wikana dll.

Berdasarkan penyatuan hasil penelitian belasan buku literatur tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda dan militerisme / fasisme Jepang, Sidik Kertapati telah menulis suatu pengalaman perjuangannya sendiri yang heroik dalam masa mudanya “Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 1945”serta mempertahankan dan membela Kemerdekaan itu, karya yang nilai sejarahnya besar bagi generasi sekarang dan di kemudian hari.
Dia tidak hanya menulis tentang pahit dan manisnya perjuangan pemuda dan rakyat Indonesia sekitar Proklamasi dan pembangunan Republik yang muda itu, tetapi dia juga menunjukkan dan mencoba menganalisa kesalahan-kesalahan taktik dan strategi perjuangan maupun kelemahan-kelemahan manusiawi pejuang-pejuang muda serta pemimpin-pemimpin rakyat itu. Dia juga mengkritik kebimbangan dan keragu-raguan pemimpin-pemimpin Indonesia angkatan lebih tua dalam menghadapi Jepang, dan kemudian Belanda yang membonceng kepada Sekutu ketika mendarat di Indonesia sesudah Jepang kalah.

Kalaupun Sidik Kertapati meragu-ragukan keteguhan sikap sementara pemimpin-pemimpin Indonesia angkatan lebih tua, dia mencari kekuatannya di kalangan rakyat pekerja, massa buruh dan tani. Dia menulis: “Bagi rakyat Indonesia, zaman Jepang adalah zaman perampokan, pembunuhan, kelaparan dan perkosaan, zaman gelap sulit, di saat mana bahaya maut selalu mengintip dan mengancam, saat mana darah dan air-mata Rakyat terus mengalir.
Kaum kolonialis Jepang menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat perbudakan di bawah diktatur militer. …. Kaum buruh diturunkan derajatnya menjadi budak dan diperas tenaganya diluar batas kemanusiaan. Kaum buruh demikian disebut romusha.

Kaum tani sangat menderita, demikian ia menulis. Mereka dipaksa menyetorkan sebagian besar hasil panen padi dan ternaknya dengan harga yang sangat rendah. Ia menyebut pemberontakan tani di Indramayu pada tanggal 23 Oktober 1943. Pemberontakan tani di desa Sukamanah, Singa-parna pada tanggal 14 Pebruari 1944. Dengan mengangkat parang, golok, arit dan cangkul mereka dengan gagah berani menyerbu dan membunuhi para penguasa Jepang setempat dan kakitangannya. …. Tetapi, demikian Bung Sidik meneruskan tulisannya, pemberontakan-pemberontakan tani itu masih belum bisa mengatasi kecenderungan spontan kaum tani: tidak dilakukan dengan organisasi yang rapi dan bukan hasil dari persekutuan yang erat dengan golongan-golongan lain. Akibatnya, pemberontakan-pemberontakan itupun menjadi terisolasi, dan mudah dipatahkan.

Segera sesudah diproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih bayi itu, maka segunung tinggi masalah-masalah pelik politik dan sosial harus dihadapi. Menulis Sidik Kertapati: “Tokoh-tokoh pemerintah R.I. yang pertama, tidak semua terdiri dari orang-orang yang mengikuti dan mengerti perasaan, fikiran dan hasrat rakyat yang sedang berrevolusi….”

Bung Sidik pada masa itu sudah menunjukkan bagaimana ia dengan penuh hati dapat mengikuti dan mengerti perasaan dan fikiran rakyat pekerja, kaum buruh dan tani.
Segera sesudah proklamasi, maka pada tanggal 3 September 1945 aksi “perebutan kekuasaan dan pengoperan” Jawatan K.A. di seluruh Jakarta kepada Republik Indonesia dimulai.
Sebelumnya, di Markas Menteng 31 Bung Sidik Kertapati ikut serta membentuk Barisan Rakyat (BARA) yang bertujuan mengorganisasi massa kaum tani.
Dari sejarah, belakangan, dalam tahun-tahun 50 – 60-an kita juga mengetahui peranan Bung Sidik, antara lain dalam melancarkan UU Pokok Agraria di DPR pada tahun 1960.

Bung Sidik Kertapati sebagai seorang tokoh politik dan.patriot bangsa Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, tidak asing bagi kalangan pers dan politik di luarnegeri. Di dalam majalah PRISMA tahun 1980-an kita dapat mengutip dari tulisan Jacques Leclerc, staf pengajar Sejarah Indonesia Merdeka di Lembaga Bahasa-bahasa Timur, Parsi, secercah berita sbb.: “Orang-orang lama Menteng 31 yang lain, Sidik Kertapati dan Legimon Harjono (Ismail Bakri), berusaha untuk menyatukan kembali gerakan tani. Khususnya, Sidik, dengan susah-payah telah mengubah Lasykar Rakyat Jawa Barat menjadi organisasi massa. Dengan nama SAKTI, organisasi itu telah berakhir dengan masuknya ke dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) pada tahun 1955. BTI itu yang telah didirikan di Yogya pada bulan November 1945, menjadi organisasi kaum tani yang paling penting setelah memasukkan Rukun Tani Indonesia ke dalam tubuhnya pada tahun 1955”.

Kawan-kawan, salahsatu sikap hidup Bung Sidik Kertapati tercermin dari kata-kata berikut:
Jangan sekali-kali kita berdiri di pinggir jalan menonton saja…. Itu salahsatu sikap hidup yang selalu ia tekankan…. Apakah kita berada di tanahair, di rumah sendiri, ataukah di mancanegara, di luar negeri.
Saya ingin menutup kenang-kenangan saya kepada Bung Sidik Kertapati ini, dengan mengutip kata kepercayaan dan keyakinannya pada akhir tulisannya dalam bukunya “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945”.

Saya kutip: “Dan seperti selalu dan di manapun juga, Rakyat Indonesia pada suatu ketika pasti bangkit dan menghentikan setiap petualangan musuh-musuh revolusi kembali kepada kepribadian revolusionernya. Bila tetes-tetes air telah berkumpul dan menjadi sungai-sungai deras yang mendobrak jalan ke laut, begitu juga Rakyat Indonesia dengan pengalaman sejarahnya yang kaya dan berangkat dewasa. Dia menjadi kekuatan massa yang berkesedaran politik, maju bergerak dan berjuang menuju ke kemenangannya. Di puncak-puncak pasangnya revolusi semakin nyata gambaran hari depan yang gemilang dan mempesonakan: Indonesia yang merdeka penuh dan bahagia, adil dan makmur bagi Rakyat semuanya!”

Terima kasih

F.C. Fanggidaej
(Kawan Seperjuangan dan Segenerasi Kawan Sidik Kertapati)

(Sambutan pada Peringatan wafatnya Bapak Sidik Kertapati, di Diemen, Negeri Balanda, 12 Agustus 2007)

Geen opmerkingen:

Een reactie posten