dinsdag 17 maart 2009

Kolom IBRAHIM ISA**

Senin, 22 Oktober 2007**


QUO VADIS KOMISI KEBENARAN & REKONSILIASI **<- K K R ->*Tercetus berita -- mudah-mudahan benar dan menjadi kenyataan adanya -- bahwa sedangdiusahakan, didesakkan kepada SBY oleh kalangan aktivis HAM, untuk menghidupkan kembali usaha sekitar KKR - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi .Berkat 'jasa' Mahkamah Konstitutsi yang kontroversial dan sering bikin 'kejutan' itu, maka UU KKR yang sudah disahkan oleh DPR, begitu saja dibatalkan. Tersimpul harapan kecil bahwa berita yang masih sayup-sayup sampai itu, merupakan pertanda yang bisa dipercaya, bahwa memang, mengenai masalah KKR dan uu-nya yang belum lagi berkiprah sudah dibunuh dalam kandungan.Para pembunuh usaha KKR, mengidap pengertian yang keliru besar. Mereka menganggap bahwa penanganan masalah korban Peristiwa 1965, dimulainya suatu KKR, itu akan 'membuka luka-luka lama'. Padahal, -- begitu diberikan alasan -- , peristiwa tsb 'sudah begitu lama'. .Mereka bicara tentang keadilan dan hukum, HAM dan Demokrasi, tetapi tidak memahami bahwa masalah pembantaian masal dalam Peristiwa 1965 terhadap warganegara yang samasekali tidak bersalah, bukanlah semata-mata masalah pelanggaran HAM terbesar. Bukanlah semata-mata mengenai masalah merehabilitasi para korban tersebut, memulihkan nama baiknya yang sudah dirusak samasekali, dihina, difitnah sebagi pengkhianat dsb, hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politiknya dicabut sewenang-wenang, tanpa proses pengadilan apapun ---. Bukan itu saja.Segi lainnya dari pelanggaran HAM terbesar sekitar Peristiwa 1965 tsb, ialah, bahwa peristiwa tsb merupakan titik pangkal dan dasar dari pelanggaran fundamental terhadap prinsip-prinsip negara Republik Indonesia sebagai NEGARA HUKUM. Pengrusakan negara RI sebagai negara hukum, dimulai a.l. dengan pembangkangan Jendral Suharto ( seorang bawahan) terhadap atasannya Presiden Panglima Tertinggi Sukarno. Kemudian diikuti dengan menjegal ketetapan Presiden Sukarno menunjuk Jendral Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker sehari-hari pimpinan AD. Diteruskan lagi dengan tindakan Jendral Suharto mengangkat dirinya sendiri sebagai panglima AD. Kemudian ia berkompolot (dengan Jendral Sarwo Edhi) mensabot, membubarkan sidang Kabinet 100 Menteri di Istana Negara. Dilanjutkan lagi dengan mamaksa Presiden Sukarno mengeluarkan 'Surat Perintah Sebelas Maret' --- Tindakan mendongkel wewenang Presiden Sukarno tsb ditindak lanjuti dengan menyalahgunakan SUPERSEMAR. Padahal jelas-jelas terkandung di dalam SUPERSEMAR, bahwa di situ ada instruksi penting untuk menjaga kewibawaan Presiden Sukarno ---. Itu semua dilakukan untuk menggulingkan dan mengenakan tahanan rumah terhadap Presiden RI, kemudian lewat MPR yang sudah direkayasa sepenuhnya merebut kekuasaan negara dari Presiden Sukarno, serta mengangkat Jendral Suharto menjadi Presiden RI.Itu semua adalah pelanggaran prinsipil atas dasar-dasar sebuah NEGARA HUKUM. Menunjukkan dengan jelas bahwa rezim Orba yang dibangun Jendral Suharto yang bersimaharajalela sebagai suatu kekuasaan yang semata-mata didasarkan pada kekerasan militer belaka. Berdirinya rezim Orba adalah suatu pelanggaran hukum terbesar dalam sejarah RI.. Rezim Orba pelanggar Negara Hukum RI inilah, yang kemudian melakukan kekerasan militer, kekejaman dan pelanggaran HAM di Aceh, Papua, Maluku, dan melakukan agresi ke Timor Timur serta menganeksasi negara Timor Leste yang baru diproklamasikan itu.Jadi, bicara perkara HAM dan KKR, jangan sekali-kali melupakan suatu segi yang penting dari pelanggaran HAM sekitar Peristiwa 1965, yaitu, dilanggarnya prinsip dan fundamen negara Republik Indonesia sebagai NEGARA HUKUM.Dengan demikian, bila KKR dilaksanakan di negeri kita, maka itu seyogianya dimulai dengan berangsur-angsur merehabilitasi negara RI sebagai NEGARA HUKUM.* * *Sebagai bahan pertimbangan dibawah ini disiarkan kembali tulisan mengenai bagaimana pemerintah Chili, Presiden terpilih Ricardo Lagos, melalui proses perjuangan yang berlangsung terus di dalam masyarakat, -- telah memulai proses KRR dengan tindakan-tindakan nyata, a.l. dengan MENGAKUI BAHWA PELANGGARAN HAM yang pernah terjadi sekitar perebutan kekuasaan dan semasa rezim militer Pinochet, adalah POLITIK NEGARA. Adalah tanggungjawab negara untuk menanganinya dewasa ini.* * **


IBRAHIM ISA dari BIJLMER, **

29 NOV. 2004. *--------------------------------------*- - CHILI KONGKRIT LURUSKAN SEJARAHNYA! *Pemerintah Indonesia yang silih berganti, mulai dari Presiden Habibie, pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, sampai pemerintah Presiden Megawati Sukarnoputri, belum mengakui kesalahan negara di waktu yl. (tentang G30S). Bagaimana dengan pemerintah Presiden SBY sekarang ini. Di sinilah perlunya dengan rendah hati belajar dari Chili, pertama-tama mengakui kesalahan negara di waktu y.l. Kemudian rehabilitasi dan kompensasi para korban tsb. Dengan demikian merintis jalan ke pelurusan sejarah, mencari kebenaran dan rekonsiliasi nasional.Kekuatan utama dan paling konsisten di Chili adalah gerakan rakyat yang luas untuk demokrasi dan kebebasan, yang dilakukan oleh rakyat Chili di bawah mendiang Presiden Salvador Gossen Allende (pemimpin Partai Sosialis Chili), yang dibunuh oleh tentara Chili di bawah Jendral Pinochet, ketika tentara Chili dengan bantuan dan keterlibatan CIA/AS mengadakan perebutan kekuasaan negara (September 1973).Dewasa ini di saat banyak dibicarakan mengenai Rekonsiliasi atas dasar Kebenaran serta kaitannya dengan pelurusan sejarah. Telah pula dilakukan usaha sementara organisasi dan tokoh masyarakat untuk menarik pelajaran dari Chili dan Afrika Selatan misalnya.Maka: Sekadar supaya ingat kembali: Pemerintah dan pers AS, yang berusaha menutupi keterlibatan CIA dalam coup Jendral Pinnochet tsb.,tidak beda dengan sikapnya terhadap coup Jendral Suharto terhadap Presiden Sukarno dan keterlibatan CIA. Namun, lama-lama terbongkar juga yang hendak ditutup-tutupi itu. Pada tahun 1974 Michael J. Jarrington (D-MA) membocorkan bagian-bagian dari kesaksian rahasia William Colby di muka Congres AS. Kita juga masih ingat, pada penghujung tahun 1975 Komite Senat yg dikepalai oleh Frank Church mengeluarkan laporan mengenai “Aksi Rahasia di Chili, 1963-1973”. Kemudian dalam tahun 1982 Hollywood membuat film yang menggemparkan dunia politik dan perfileman, berjudul “Missing”. Film itu disutradarai oleh Costa Gravas, dibintangi oleh Jack Lemon dan Sissy Spacek. Film itu menuturkan secara dramatis tentang nasib Charles Horman, seorang jurnalis free-lance AS berumur 30 th, yang ditahan fihak militer Chili, kemudian dieksekusi. Satu-satunya penyebab ia dieksekusi: Karena Horman memiliki bahan-bahan mengenai coup Jendral Pinnochet dan kekejaman-kekajamn pelanggaran HAM luar biasa yang dilakukan tentara terhadap pengikut-pengikut Allende dan rakyat yang berlawan terhadapnya.*“BREAKING NEWS” *Berita ini disiarkan pers mancanegara hari ini a.l. oleh BBC, CNN, Reuter, Herald Tribune, atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai: “berita penjebolan/kejutan”, ialah tentang tindak politik Presiden terpilih Chili, Ricardo Lagos, yang “menjebol” dan merupakan “kejutan”, terutama bagi pelanggar HAM di mana saja mereka berada. Yang disebut “breaking news” itu ialah tawaran Presiden Lagos untuk memberikan pensiun seumur hidup (kira-kira US$ 185 seorang sebulannya) kepada 28.000 rakyat Chili, korban penyiksaan oleh agen-agen pemerintah militer Jendral Pinochet. Presiden Lagos menekankan bahwa sesungguhnya apapaun tidak memadai untuk menebus penderitaan para korban penyiksaan militer dan polisi. Kebijaksanaan Presiden Ricardo Lagos dari Chili ini betul-betul merupakan langkah penting dan kongkrit ke arah pelurusan sejarah, menemukan kebenaran dan rekonsiliasi nasional di Chili.Kebijaksanaan Presiden Lagos ini keluar bersamaan dengan diumumkannya sebuah laporan resmi mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah antara tahun 1973 – 1990, yaitu semasa pemerintah Jendral Pinochet. Presiden Lagos menyatakan bahwa laporan yang didasasrkan atas kesaksian korban-korban yang masih hidup, membuktikan bahwa PENYIKSAAN ADALAH POLITIK NEGARA ketika itu. Korban penyiksaan itu mencakup 3.400 wanita dan bahkan anak-anak. Penyiksaan yang dilakukan agen-agen tentara dan polisi itu meliputi penenggelaman (kepala sang korban) dalam air, pelistrikan dan pemukulan berulang-ulang. Laporan tsb juga mengungkapkan bahwa banyak tindakan pelanggaran tsb dilakukan oleh tentara dan polisi Chili. Bahwa 12% dari korban yang disiksa itu terdiri dari perempuan dan anak-anak. Dari jumlah anak-anak yang ditahan, 88 adalah anak-anak berumur 12 tahun kebawah. Mereka diambil dari rumah-rumahnya pada malam hari, diangkut dengan truk, kemudian dijebloskan di lebih dari 800 tempat-tempat tahanan dan penjara.Presiden Lagos menyatakan bahwa: “Laporan tsb membuat kita harus menghadapi kenyataan politik yang tidak bisa dihindarkan, bahwa penahanan politik dan penyiksaan merupakan praktek yang inkonstitusionil oleh negara, yang sepenuhnya tidak bisa diterima dan asing bagi tradisi sejarah Chili.” Diungkapkan oleh Lagos bahwa banyak dari korban melakoni penderitaan tanpa buka mulut. Namun, akhirnya mereka tampil ke depan menuturkan ceritera penderitaan mereka. Seperti diketahui kompensasi yang diberikan negara kepada para korban tsb adalah tindakan terbaru dari banyak kebijaksanaan yang sudah diambil sebelumnya oleh tiga pemerintahan koalisi tengah-kiri di Chili, untuk mengkoreksi pelanggaran HAM di bawah pemerintah militer Jendral Augusto Pincochet.Chili sudah memberikan semacam ganti-rugi keuangan kepada para keluarga yang dibunuh atau ‘hilang’, dan para korban yang dipaksa untuk menjadi orang buangan, selama periode kediktatoran Jendral Pinochet. Presiden Lagos menekankan bahwa negara harus memberikan kompensasi, betapapun harus menghemat, sebagai suatu cara mengakui tanggungjawabnya atas pelanggaran itu.Pada saat ini bangsa kita sedang bergumul dalam perjuangan sengit untuk menegakkan negara hukum Indonesia, bertindak terhadap KKN, terhadap pelanggaran HAM dan diskriminasi untuk mengakhiri kebudayaan “tanpa hukum”. Pemerintah sekarang ini seyogyanya belajar dengan rendah hati dari pengalaman dan praktek Presiden Ricardo Lagos dari Chili. Pertama-tama pemerintah Indonesia harus mengakui kesalahan dan pelanggaran HAM oleh negara, kongkritnya oleh Orba pada tahun-tahun 1965, 1966 dst, juga sampai saat ini. Akui hal ini secara terus terang dan terbuka. Pasti akan disambut oleh seluruh bangsa.Kemudian pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit ke arah pengkoreksian kesalahan tsb, kearah rehabilitasi dan kompensasi para korban. Bila hal-hal itu dilaksanakan barulah ada syarat nyata untuk melangkah ke arah Rekonsiliasi Nasional, ke arah persatuan nasion yang hakiki.* * *

Geen opmerkingen:

Een reactie posten