donderdag 19 maart 2009

MD Kartaprawira: ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. kEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN U.U. KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (1): TIDAK SERIUS, MENGAPA?

Oleh MD Kartaprawira*)


Ketika (ex) Menteri Hamid Awaluddin berencana pergi ke Belanda dan Perancis untuk mengadakan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 kepada para “Orang Terhalang Pulang” (selanjutnya OTP, termasuk di dalamnya para eks Mahid) karena paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa negara di luar negeri (KBRI), para OTP dengan serius dan cermat mempersiapkan sesuatu yang akan didiskusikan, diusulkan kepada Awaluddin di dalam pertemuan tersebut, sebagai jalan keluar agar sisi negatif UU Kewarganegaraan bisa diperbaiki. Bahkan persiapan itu dirancang bersama-sama dengan beberapa oknum di luar OTP yang “peduli” pada nasib korban. Tetapi Awaluddin ternyata tidak jadi ke Belanda dan Perancis berhubung terjadinya reshafel kabinet, di mana kedudukannya digantikan oleh Andi Mattalata. Jadi keaktifan para OTP dalam masalah tersebut di atas cukup maksimal, sehingga tidak perlu dianjur-anjurkan lagi oleh Mattalata. (Lih. Detikcom, 21-09-2008 Laporan dari Den Haag, Eks Mahid Jangan Pasif). Sebaliknya, Mattalata sebagai menteri hukum dan HAM, jika mempunyai kepedulian dan iktikad baik terhadap para OTP (korban pelanggaran HAM di luar negeri) seharusnya aktif melakukan usaha-usaha riil ke arah tujuan tersebut secara serius melalui perwakilan RI di Den Haag.

Karena Hamid Awaluddin gagal melakukan sosialisasi UU Kewarganegaraan ke Belanda dan Perancis maka organisasi Lembaga Pembela Korban 1965, Nederland (selanjutnya - LPK65)memandang perlu mengeluarkan Pernyataan dalam press release berkaitan dengan dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 2006 agar diketahui umum.( Lih.: Press Releases - STATEMENT LEMBAGA PEMBELA KORBAN '65 Tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN UU KEWARGANEGARAAN RI/2006 TERHADAP WNI-KORBAN PELANGGARAN HAM ORDE BARU DI LUAR NEGERI http://lbgpk65.blogspot.com/2007/05/statement-lpk-65-tentang-kebijakan.html ) di samping penyiaran beberapa beberapa artikel, wawancara di muat di media cetak dan internet, juga wawancara di Radio, misalnya Radio SMART FM yang dipancarkan oleh 15 jaringannya di seluruh Indonesia. Dalam pernyataan tersebut secara jelas dipaparkan posisi organisasi LPK65 Nederland terhadap UU Kewarganegaraan 2006.

Pada hari Jum’at 19 September 2008 telah berlangsung pertemuan Andi Mattalata dengan masyarakat Indonesia di KBRI Den Haag dengan tema “Sosialisasi UU Kewarganeraan R.I 2006”. Tetapi mengapa KBRI tidak mengundang organisasi-organisasi di Belanda yang anggota-anggotanya sebagian besar adalah para OTP (“Perhimpunan Persaudaraan Indonesia” dan “Lembaga Pembela Korban 65”)? Padahal dua organisasi tersebut adalah organisasi riil dan resmi, yang mempunyai AD/ART dan anggotanya cukup besar, bukan organisasi dari dua atau tiga orang saja.

Memang pada jaman Orde Baru/Suharto antara OTP dan KBRI di luar negeri tidak ada hubungan sama sekali. KBRI kala itu dianggap wakil dari rejim yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965, baik di tanah air maupun di luar negeri. Tapi keadaan tersebut mulai berobah ke arah positif ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) memegang kendali pemerintahan. Untuk menyelesaikan masalah OTP Gusdur mengirimkan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra ke Belanda untuk bertemu dan berdialog dengan para OTP yang akan dipulihkan kembali hak-hak politik dan sipilnya. Pertemuan Yusril dengan OTP diselenggarakan oleh KBRI Den Haag secara serius dan cermat sekali dengan mengundang beberapa orang OTP untuk ikut memikirkan persiapan pertemuan. Bahkan undangan sebanyak 200 buah diserahkan kepada saya (MD Kartaprawira) untuk dibagi-bagikan kepada para OTP di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Republik Ceko dll). Di kala itu kepala perwakilan RI adalah Dubes Abdul Irsan (1998-2002), yang di masa tugasnya hubungan baik antara OTP dan KBRI berkembang bagus. Pada pertemuan/seminar/diskusi yang diselenggarakan KBRI para OTP/organisasinya selalu diundang. Dan sebaliknya ketika para OTP yang dipelopori organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia mengadakan “Peringatan 100 Tahu Bung Karno” Dubes Irsan bersama-sama pejabat-pejabat terasnya selama dua hari berturut-turut menghadirinya (Hari pertama – Seminar, hari kedua – Pertunjukan kesenian). Hubungan timbal balik yang positif telah berlangsung.

Pertemuan tentang Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI oleh A.Mattalata tanggal 19 September 2008 yang lalu agaknya dipersiapkan dengan agenda yang penuh tanda tanya. Sebab LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia sebagai organisasi-organisasi di mana sebagian besar para OTP menjadi nggotanya, tidak diundang. Tapi masih untung ada 2 (dua) orang yang mungkin dapat digolongkan OTP hadir dalam pertemuan tersebut. Jelas pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan tersebut diselenggarakan secara tidak serius. Sehingga memungkinkan timbulnya berbagai pertanyaan: Apakah dengan tidak mengirimkan undangan ke pertemuan tersebut KBRI Den Haag ingin menunjukkan bahwa KBRI Den Haag tidak mengakui eksistensi dua organisasi para OTP: LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia? Dan karenya dua organisasi tersebut tidak perlu digubris, bisa diremehkan begitu saja? Atau memang KBRI tidak menginginkan hubungan baik/normal dengan para OTP/organisasinya?Tentunya masih ada pertanyaan lainnya lagi yang perlu mendapat kejelasan.

Tetapi kalau kita menengok sejarah hubungan KBRI dengan para OTP dan organisasinya, maka pertanyaan tersebut akan sedikit banyak menjadi terang. Ketika Dubes Abdul Irsan diganti Dubes M. Yusuf (2002-2005) telah mulai terjadi perubahan hubungan antara KBRI Den Haag dengan OTP/organisasinya. Hal tersebut nampak ketika KBRI mengadakan acara-acara tertentu atau ketika membacking acara-acara organisasi tertentu, tidak pernah lagi mengundang 2 (dua) organisaasi tersebut di atas (LPK65 dan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia). Alasan bahwa tidak tahu alamat kedua organisasi tersebut adalah absolut tidak dapat dibenarkan. Tapi anehnya mencomot (“mengundang”) orang-perorangan dari anggota kedua organisasi OTP tersebut untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan di KBRI atau pertemuan organisasi yang mendapat backingnya, dijadikan kebijakannya. Apa pula ini artinya? Apakah bukan politik pecah belah terhadap intern masyarakat OTP di Negeri Belanda? Nah itulah pertanyaan yang selalu menggelitik.

Dan yang lebih mencengangkan, mengapa Undangan pertemuan untuk memperingati hari nasional/peristiwa nasional yang penyelenggaraannya dipelopori oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia atau LPK65 tidak pernah disambut oleh KBRI, tanpa alasan yang jelas. Tentunya kalau dubesnya berhalangan, bisa diwakilkan kepada para pejabat bawahannya. Pada suatu Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia misalnya, dubes dan pejabat-pejabat bawahannya tidak hadir memenuhi undangan, padahal organisatornya telah mengosongkan satu deret kursi paling depan. Hal ini terjadi sejak M.Yusuf menjabat sebagai Kepala Perwakilan RI di Negeri Belanda.

Tampaknya kebijakan yang demikian itu, yaitu yang menyangkut hubungan para OTP dengan KBRI Den Haag, masih akan diteruskan oleh Kepala Perwakilan RI – Dubes Fanni Habibie (2005-2009) dewasa ini. Misalnya, sangat disayangkan undangan kepada KBRI untuk hadir dalam “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, tidak mendapat sambutan. Bahkan ada keberatan yang disampaikan oleh pihak KBRI tentang ketidak-setujuannya kata “100 Tahun” dicantumkan dalam judul peringatan tersebut. Aneh sekali.

Jalan rata hubungan KBRI dengan sebagian bangsa Indonesia di luar negeri yang “bergelar OTP” yang telah sukses dibangun oleh Dubes Abdul Irsan dulu seyogyanya dan seharusnya dilanjutkan oleh dubes-dubes berikutnya. "Tidak perlu membabat hutan lagi untuk membangun jalan baru". Para OTP di luar negri masih tetap bagian bangsa Indonesia yang keindonesiannya tidak pernah luntur.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

Geen opmerkingen:

Een reactie posten