donderdag 19 maart 2009

Kompas: KETIDAKADILAN MASA LALU

Kompas, Selasa, 4 Maret 2008 02:14 WIB

KETIDAKADILAN MASA LALU

Baskara T Wardaya


Seberkas sinar terang sedang memancar di cakrawala Republik. Dikabarkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM baru membentuk dua Tim Ad Hoc. Yang pertama untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Yang lain untuk menyelidiki kasus penembakan misterius.

Pembentukan kedua tim itu merupakan kelanjutan dari mandat Komnas HAM periode sebelumnya dalam menangani apa yang mereka sebut ?rumpun kejahatan Soeharto? (Kompas, 27/2/2008). Terkait tim untuk tragedi 1965, kiranya hal itu perlu dipandang sebagai sinar terang karena selama ini kita seakan berada dalam kegelapan. Kita masih belum tahu pasti apa persisnya yang terjadi, siapa sebenarnya tokoh-tokoh kunci di baliknya, pembenaran apa yang dipakai oleh pihak-pihak yang terlibat, dan apa sebenarnya dampak tragedi itu pada kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia setelahnya. Itu sebabnya, berita tersebut perlu disambut gembira.

Tunggu dulu

Kita tahu, pada tahun 1965-1966 sebuah peristiwa kemanusiaan yang tragis dan dahsyat terjadi di negeri ini. Namun, apa sebenarnya duduk persoalan dari peristiwa itu? Banyak yang belum tuntas terjelaskan.

Penjelasan resminya adalah pada 1 Oktober 1965 sejumlah orang dari sebuah partai politik tertentu (dalam hal ini Partai Komunis Indonesia) melakukan ?pemberontakan? dengan membunuh sejumlah petinggi militer di Jakarta. Akibatnya, rakyat Indonesia ?marah? dan melakukan pembalasan dengan membunuh secara massal anggota-anggota partai itu.

Dikatakan, para anggota partai itu sudah semestinya dibunuh secara massal karena mereka ateis dan sebelumnya lebih dulu melakukan berbagai tindakan keji. Mereka yang tersisa layak dipenjarakan untuk kemudian bersama seluruh kerabatnya patut terus dicurigai. Karena mereka ini ?jahat?, tidak perlu ada pengadilan ataupun pertanggungjawaban moral.

Meski demikian, penjelasan resmi itu tampaknya masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Misalnya, jika yang terlibat adalah para pemimpinnya, mengapa ratusan ribu pengikutnya harus dibantai? Jika pembunuhan itu terjadi secara spontan, mengapa terjadinya secara bergelombang, bulan Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan baru bulan Desember 1965 di Bali? Mengapa di Jawa Barat tidak terjadi pembantaian massal? Mengapa sejumlah unsur asing dikatakan turut terlibat?

Kebetulan banyak pelaku, saksi, survivor, pengamat politik, maupun sejarawan juga memberi penjelasan, tetapi berbeda dari penjelasan resmi itu. Misalnya, yang menjadi korban ternyata tidak hanya para anggota partai itu, tetapi juga warga masyarakat yang lain; yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 sebenarnya adalah konflik internal institusi tertentu (Anderson dan McVey: 1971); peristiwa itu merupakan bagian dari sebuah ?kudeta merangkak? melawan Bung Karno, dan sebagainya.

Itu sebabnya, pembentukan Tim Ad Hoc tersebut perlu disambut baik. Diharapkan tim itu akan dapat memberi kejelasan apakah pada saat itu memang terjadi pelanggaran HAM berat atau tidak. Sekaligus pembentukan tim ini untuk menunjukkan makin seriusnya masyarakat dalam menangani berbagai ketidakadilan pada masa lalu, sebagai bagian dari upaya membangun masa depan bangsa yang lebih sehat dan lebih berkeadilan.
Pertanyaannya, apakah dengan pembentukan tim itu berarti telah tiba saatnya bagi kita untuk beriang gembira karena ternyata negara telah serius dalam menghormati hak-hak asasi rakyatnya?

Tunggu dulu. Pertama, belum tentu apa yang dibentuk dan dicita-citakan oleh Komnas HAM itu otomatis mencerminkan tekad dan cita-cita keseluruhan aparatus negara.
Kedua, berdasar pengalaman, usaha penyelidikan atas pelanggaran HAM masa lalu biasanya akan berhadapan dengan resistensi yang kuat dari mereka yang merasa terancam posisi dan kepentingannya.

Sinar terang

Jika demikian, bagaimana menyikapi pembentukan tim itu?
Pertama, perlu diacungkan jempol untuk Komnas HAM karena sudah berani mewujudkan mandatnya guna mengangkat persoalan yang sebenarnya mendesak, tetapi selalu tertunda.
Kedua, kinerja tim itu harus didukung. Berhasil atau gagalnya kerja tim tidak hanya bergantung pada para anggotanya, tetapi juga pada kita semua.

Ketiga, entah pada akhirnya tim itu akan berhasil atau tidak, hendaknya pembentukannya dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk terus berjuang demi makin disinarinya momen-momen dalam sejarah kita yang selama ini masih digelapkan supaya kita bisa berjalan dalam terang.
Siapa tahu dengan belajar dari momen- momen itu kita akan memahami apakah tragedi yang berlangsung tahun 1965-66 itu hanya berhenti di situ, ataukah memiliki dampak yang jauh, bahkan sampai sekarang.

Sebagaimana kita tahu, sejak peristiwa itu terjadi, politik Indonesia yang semula bersifat kerakyatan berubah menjadi elitis, yang tadinya antimodal asing menjadi sangat promodal asing. Jika sebelumnya rakyat merupakan pelaku aktif dalam dinamika politik dari tingkat lokal sampai tingkat nasional, setelah itu rakyat dipandang sebagai ?massa mengambang? yang partisipasi politiknya amat dibatasi. Jika sebelumnya pemerintah selalu bersikap hati-hati terhadap modal asing, setelah peristiwa itu modal dari negara-negara lain mudah masuk begitu saja.

Terkait dengan modal asing, negara sering tidak bertindak sebagai pihak yang melindungi kepentingan rakyat terhadap serbuan kepentingan modal, tetapi sebagai pelancar masuknya modal asing dengan acap kali justru mengorbankan kepentingan rakyat. Ironis memang.
Kita berharap apa yang dilakukan Komnas HAM sungguh akan menjadi sinar terang, tidak hanya untuk menyorot masalah ketidakadilan pada masa lalu, tetapi juga untuk memperkokoh langkah kita ke depan sebagai bangsa. Bangsa yang sehat adalah bangsa yang berani belajar dari pengalaman kolektif masa lalunya.

Baskara T Wardaya SJ Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Geen opmerkingen:

Een reactie posten