donderdag 19 maart 2009

LPK'65: KASUS MUCHDI, BATU UJIAN PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA


KASUS MUCHDI: BATU UJIAN PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA
(Menyorot liku-liku gelap jalan menuju keadilan bagi aktivis HAM Munir)


10 tahun perjalanan “reformasi” setelah jatuhnya rejim Suharto pada hakekatnya merupakan rentang waktu berlangsungnya perang tanding garis politik yang menginginkan tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia melawan garis politik yang ingin tetap meneruskan “ideologie” orde baru Suharto beserta jurus impunitas atas pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu (1965-1998). Kenyataan bahwa dalam era “reformasi” peta kekuatan politik pada jaman orba masih tetap tidak mengalami perubahan berakibat tidak adanya perubahan secara signifikan di bidang pelaksanaan dan penegakan hak asasi manusia, meskipun peraturan-peraturan hukum mengenai HAM telah dituangkan baik di dalam hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia (UUD 1945, UU HAM, UU Pengadilan HAM dan lain-lainnya). Yang sangat menyolok mata dan menusuk rasa keadilan adalah belum adanya penyelesaian secara adil kasus pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir lebih-kurang 4 tahun yang lalu tidak lain adalah kelanjutan dari perang tanding tersebut di atas, di mana sejumlah bukti kuat mengarah pada keterlibatan Muchdi Purwopranjono, Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN). Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan juga bahwa BIN sebagai institusi negara juga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Karena adanya bukti-bukti kuat itulah maka Kejaksaan menindak lanjuti proses hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi kenyataannya majelis hakim memberi putusan bebas kepada Muchdi dengan alasan tuduhan Penuntut Umum tidak terbukti.
Adakah suatu permainan patpat-gulipat diantara alat penegak hukum? Itulah pertanyaan kuat dari kalangan masyarakat luas di dalam negara, di mana budaya money politik sangat dominan di dalam kehidupan. Dalam permainan patpat gulipat bisa diterka opsi jurus mana yang mereka gunakan. Mungkin dengan sengaja Jaksa/Penuntut Umum membuat tuntutan sedemikian rupa lemah, sehingga hakim menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa? Mungkin juga antara Penuntut Umum dan Hakim sudah terjadi “perjanjian” rahasia dengan tujuan membebaskan terdakwa?

Kini kasus Muchdi tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan di ajukan ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi. Kejaksaan Agung menemukan adanya kesalahan interpretasi hukum oleh Majelis Hakim dalam memutuskan vonis bebas Muchdi Purwopranjono dalam kaitannya dengan pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir.
Antara Penuntut Umum dan Hakim bisa saja terdapat perbedaan interpretasi mengenai sesuatu peraturan hukum. Hal tersebut biasa di dalam praktek dunia hukum. Tetapi perbedaan interpretasi di dalam proses pengadilan tentu yang menang Majelis Hakim, sebab ditangan dialah palu putusan vonis dijatuhkan. Dengan demikian di dalam mahkamah kasasi nanti Mahkamah Agung akan menjadi penentu siapa pemenang dari perbedaan interpretasi tersebut di atas.
Seperti kita ketahui, pada tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak lagi melihat dan membicarakan fakta yang telah diperiksa dalam proses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mahkamah Agung hanyalah akan memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menjatuhkan putusan Kasus Muchdi. Dalam hal ini MA hanya membaca teks perundang-undangan dan menyimpulkan berdasarkan logika hukum.

Perlu kita ingatkan bahwa dalam kasus Pollycarpus, dia dinyatakan terbukti melakukan konspirasi untuk melenyapkan nyawa Munir sehingga divonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri. Tapi di tingkat kasasi Pollycarpus dinyatakan tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Munir. (Dia hanya terbukti memalsukan surat tugas atau menggunakan surat tugas palsu dalam penerbangan Jakarta--Singapura, 6 September 2004). Dalam kasus Muchdi ini terbalik, dia diputus bebas oleh Pengadilan Negeri karena tidak terbukti apa yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum kepadanya. Apakah nanti di tingkat kasasi Mahkamah Agung akan menyatakan Muchdi juga tidak terbukti tuduhan jaksa Penuntut Umum seperti halnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan? Tentu saja masyarakat dan organisasi peduli HAM berharap tidak terjadinya permainan patpat gulipat.
Masyarakat dan organisasi peduli tegaknya hukum dan HAM di Indonesia akan terus memonitor jurus-jurus silat para “penegak hukum” dalam Kasus Muchdi tersebut dan kasus pembunuhan Munir keseluruhannya. Di pengadilan tingkat kasasi inilah akan tampak lagi seberapa jauh keadilan di Indonesia ditegakkan dan perundang-undangan HAM ditaati. Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK'65), Nederland terus melakukan usaha-usaha ke arah terciptanya perubahan-perubahan positif dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada umumnya dan pelanggaran HAM berat masa lalu pada khususnya. Tapi sampai saat ini belum tampak fakta-fakta yang menunjukkan perubahan yang dimaksud. Contoh nyata a.l. Kasus Pelanggaran HAM berat 1965 sampai sekarang (sudah 43 tahun) tidak mendapat perhatian serius dari institusi-institusi negara yang bertanggung jawab. Dalam Kasus Jalan Diponegoro Tahun 1998 bahkan para korbannya yang mendapat vonis hukuman penjara. Dalam kasus Tanjung Priok terdakwa pelaku pelanggaran HAM dinyatakan tidak terbukti, sehingga pengadilan kasasi membatalkan eksekusi kompensasi untuk para korban.

Dalam kaitannya dengan kasus Muchdi Purwopranjono tersebut LPK’65, Nederland menyerukan dan mendesak agar:
- Mahkamah Agung melakukan tugasnya atas dasar keadilan, kejujuran dan tidak memihak.
- Institusi-institusi penegak hukum menjadikan pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kasus Muchdi berkaitan dengan kasus pembunuhan Munir merupakan “a test of our history” signal positif untuk langkah ke depan kinerjanya.
- Keadilan bagi Munir dan korban pelanggaran HAM lainnya ditegakkan tidak pandang siapa pun pelaku kejahatannya, serta sepenuhnya mendukung usaha Suciwati isteri mendiang Munir dan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir) untuk menyingkap pelaku utama pembunuhan Munir tersebut.

Nederland, 14 Januari 2009

LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK’65), NEDERLAND,
MD Kartaprawira (Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I)

Geen opmerkingen:

Een reactie posten