donderdag 19 maart 2009

MD Kartaprawira: ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN RI 2006 (2): MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

ANDI MATTALATA SOSIALISASIKAN UU KEWARGANEGARAAN R.I. 2006 (2) : MENYEMBUNYIKAN MASALAH POKOK YANG PRINSIPIIL

Oleh MD Kartaprawira*)

Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam menyosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 di KBRI Den Haag pada 19 September yang lalu, jelas belum memahami sedikitpun permasalahan yang menyangkut “orang terhalang pulang” (selanjutnya OTP) atau dia tidak mau tahu. Masalah OTP tersebut sudah lama menjadi mata pembicaraan di media cetak, internet, radio, TV di samping di diskusikan di dalam seminar-seminar sampai saat ini. Tapi yang disosialisasikan Mattalata hanya mengenai masalah sekitar prosedur/cara permohonan kewarganegaraan kembali. Padahal persoalan prinsipiil bagi OTP adalah penegakan kebenaran dan keadilan. Artinya penguasa negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran berat terhadap WNI di luar negeri, karenanya harus minta maaf kepada WNI yang menjadi korban tersebut (OTP).

Kalau kebenaran sudah ditegakkan, selanjutnya harus ditegakkan keadilan, yaitu semua hak politik dan sipilnya dikembalikan kepada mereka, termasuk kewarganegaraannya, restitusi dan kompensasi jika memungkinkan. Itulah masalahnya yang pokok dan prinsipiil. Sedang kewarganegaraan itu adalah masalah buntut yang otomatis mengikuti masalah pokok.

Memang pengakuan perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sangat berat. Tapi seberat apapun pengakuan terhadap rakyatnya sendiri harus dilakukan. Mengapa pemerintah Indonesia tidak mampunyai keberanian untuk minta maaf kepada para korban, yang nota bene adalah bagian dari bangsanya sendiri. Mengapa pemerintah Indonesia tidak punya keberanian mencontoh Jepang, yang berani minta maaf bahkan kepada bangsa lain, yang tatkala masa Perang Dunia II Jepang melakukan tindakan kejahatan kemanusian di negara-negara yang didudukinya, a.l. wanita-wanita di negara-negara tersebut (Korea, Cina dll) dipaksa untuk dijadikan wanita pelampias kebutuhan sex serdadu-serdadunya, karena jauh dari isteri-isterinya? Dan agaknya berita yang relatif belum lama tidak masuk di telinga para penyelenggara negara Indonesia, bahwa parlemen Spanyol telah mengesahkan UU tentang pemberian kompensasi dan restitusi beserta permintaan maaf kepada para korban keganasan rejim fasis Franco (pelanggaran HAM 70 tahun yang lampau).

Menteri Hamid Awaluddin yang berperan penting terciptanya UU tersebut, di Helsinki (2005) ketika menanggapi pendapat salah satu OTP yang berdomisili di Swedia tentang masalah penyelesaian OTP dengan tegas menyatakan bahwa kalau politik yang dipermasalahkan tidak bisa, tapi kalau mengenai paspor atau kewarganegaraan yang diminta akan diberi. Jadi masalah prinsip tampaknya akan mereka hindarkan dan tolak terus, sedang yang mereka berikan hanyalah masalah buntutnya saja. Padahal masalah pelanggaran HAM berat adalah masuk dalam wilayah politik, yang harus diselesaikan dengan putusan politik. Selama masalah politik tidak diselesaikan, berarti penguasa negara masih menyembunyikan tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap rakyatnya.

Tetapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa rejim Orba/Suharto tidak mungkin dihapus dari lembaran sejarah. Usaha yang mereka lakukan untuk tujuan tersebut dengan memutar balikkan sejarah selama 32 tahun (melalui pendidikan di sekolah-sekolah, pemutaran film tentang G30S dan lain-lainnya) telah mengalami kegagalan total - terbongkar tujuan busuknya. Sebab rakyat sudah tidak bisa dibodohi dan dibohongi lagi. Yang terus berlangsung adalah usaha-usaha dengan cara yang lebih halus untuk terus menyembunyikan kebenaran sejarah demi untuk menghindarkan tuntutan dilaksanakannya keadilan dan pertanggung jawaban hukum. Salah satu dari usaha-usaha tersebut adalah melalui UU Kewarganegaraan RI 2006.

Segolongan masyarakat menyerukan agar melupakan masa lalu, demi menatap masa depan Indonesia. Tidak perlu mengungkit-ungkit masa lalu, sebab hanya membangkitkan dendam sejarah saja, kata mereka. Saya kira masa lalu tidak bisa dilupakan, tapi perlu diredam, diendapkan dalam-dalam untuk menatap masa depan. Syarat mutlak yang tidak boleh tidak – conditio sine qua non – ke arah tersebut ialah diakuinya lebih dulu kenyataan masa lalu: terjadinya “tindak kejahatan kemanusiaan – pelanggaran HAM berat terhadap warganegaranya oleh penguasa negara baik di tanah air maupun di luar negeri”. Suatu omong kosong besar dan latah kebohongan, apabila melupakan masa lalu tapi tidak jelas apa masa lalu tersebut yang harus diakuinya lebih dulu.

Untuk menatap masa depan yang rekonsiliatif, tidak mungkin tanpa permintaan maaf dari pelaku pelanggaran HAM berat 1965 (penguasa negara) kepada para korban pada umumnya dan korban di luar negeri pada khususnya. Korban di luar negeri tidak bisa dipisah-pisahkan dengan korban di tanah air, sebab kalau tidak ada peristiwa 1965 yang mengakibatkan jutaan korban tak berdosa , termasuk Bung Karno beserta pendukungnya di tanah air, tidak akan mungkin timbul korban pelanggaran HAM di luar negeri.

Di dalam pertemuan sosialisasi UU Kewarganegaraan RI 2006 oleh Andi Mattalata di KBRI Den Haag pada tanggal 19 September 2008 yang lalu tentu tidak akan disinggung masalah penegakan kebenaran dan keadilan seperti tersebut di atas. Memang demikianlah yang terjadi.

Den Haag, 26 September 2008

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland

Geen opmerkingen:

Een reactie posten