woensdag 18 maart 2009

Roeslan: Sambutan untuk LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK'65)

Sambutan untuk LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK'65)

Suatau tulisan yang luarbiasa, yang telah menggungkap adanya kepincangan- kepincangan dan kemunafikan- kemunafikan dalam praktek pelaksanaan deklarasai HAM sedunia. Tulisan yang dikeluarkan oleh LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965 (LPK'65), Negeri Belanda, MD Kartaprawira(Ketua Umum), Suranto Pronowardojo (Sekretaris I), telah memberikan kesan pada saya, bahwa masalah HAM dewasa ini sebenarnya sudah merupakan problem tentang sistem, artinya problem HAM sedunia hanya mungkin akan dapat dituntaskan jika: Perampokkan kekayaan alam dan bumi di negeri-negeri yang sedang berkembang seperti di Asia, Afrika dan Latin Amerika, yang dilakukan oleh negeri-negeri kelompok imperialisme neolibaeral AS dan konco-konconya dihentikan, sistem Globalisasi yang mengarah pada penjajahan model baru oleh negara-negara maju yang termasuk dalam the fast progresing natiaon terhadap negara-negara tertinggal, yaitu the slow moving natians, yang telah menyebabkan terjadinya kesenyangan yang ternganga antara negara kaya dan negara miskin, dan antara negara yang berkuasa dengan negara yang tidak berkuasa serupa dengan periode Sosial Darwinism diakhiri. Sebagai contoh misalnya kejaian-kejadian perampokkan besar-besaran sumber-sumber kekayaan alam dan hutan-hutan seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya di Papua Irian barat, Sumatra, Kalimantan dll, yang dampaknya telah memberikan andil pada pemanasan suhu bumi secara gelobal. Dari semua apa yang saya sebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa problem tentang HAM secara hakekat dapat secara singkat dikatakan bahwa PBB dewasa ini sedang menghadapi Krisis pemahaman tentang HAM. Kesimpulan ini tercermin juga dalamtulisan yang di keluarkan oleh LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965, seperti kutipan dibawah ini.

Kutipan : Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas? (kutipan selesai).

Kutipan diatas saya tanggapi sebagai salah satu pencerminan dari adanya krisis pemahaman HAM di kalangan PBB, yang dampaknya akan mengantar PBB pada jalan buntu, sehingga PBB akan kehilangan kepercayaan dari negara-negara yang sedang berkembang dalam usahanya untuk memberantas pelanggaran HAM diseluruh dunia.

Krisis pemahaman HAM yang telah diderita oleh PBB itu antara lain disebabkan oleh karena adanya sikap diskriminasi yang secara sadar dianut oleh PBB. Dengan sendirinya sikap diskriminasi itu tidak berdasarkan pada sesuatu yang hampa, melainkan berdasaknan pada sikap memihak PBB pada pemilik HAM. Baik HAM dan juga Demokrsi itu sebenarnya ada yang punya, ini harus disadari. Adapaun yang punya adalah pemerintah imperialis neoliberal AS dan konco-konconya. Coba saja perhatikan ulah AS dan CIA-nya dalam peristiwa yang diawali oleh G30S 1965. Sudah bukan rahasia lagi bahwa AS dan CIA nya terlibat sebagai dalang peristiwa itu. Oleh karena itulah PBB diam seribu basa dalam menyaksikan peristiwa Genosida yang dilakukan oleh pemerintah diktator militer pimpinan jendral TNI AD Soeharto yang erat hubungannya dengan kepentingan-kepentingan pemerintah AS di Indonesia pada khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya.

Dari pandangan ini tampak jelas bahwa HAM itu sebenarnya ada yang punya, yaitu pemerintah AS. Semua pelanggaran HAM yang menguntungkan pemerintah imperialisme neoliberal AS, selalu akan dilindungi oleh kubu negara-negara imperialsme neoliberal yang menyokong pemerintahan diktator militer orde baru Soeharto yang berkerumun didalam PBB. Dari sinilah PBB telah menderita krisis kesadaran yang parah dalam memahami hakekat HAM yang sebenarnya.
Itulah sebabnya, maka terkesan bahwa PBB telah melakukan diskrininasi dalam menanggapi masalah pelanggaran berat HAM diIndonesia. Hal itu jelas karena masalah pelanggaran berat HAM diIndonesia mempunyai saling hubungan yang erat dengan negara-negara industri besar seperti AS dan konco-konconya. Sedangkan pemegang kekuasaan negara di Indonesia dari sejak jamannya orde baru sampai sekarang secara hakekat tetap tidak berubah. Apa yang dikatakan"Reformasi" hanyalah merupakan taktik pemunduran strategis dari rezim diktator militer fasis orde baru Soeharto, yang digunakan untuk mematahkan perjuangan rakyat Indonesia melawan suatu rezim militer fasis yang telah melakukan pembantaian masal terhadap rakyatnya yang tak bersalah demi untuk memenuhi kehendak imperialisme neoliberal AS dan konco-konconya. Dengan menggunkan idolla Reformasi.

Taktik pemunduran strategis dari rezim orde baru dibuktikan dengan keadaan bahwa kekuasaan negara di NKRI sampai detik ini masih tetap didominasi oleh elemen-elemen imperialisme neoliberal dibawah pimpinanAS, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintahan SBY-JK yang anti demokrasi, seperti yang tercermin dalam ucapan wakil presiden Jusuf Kalla yang disokong juga oleh presiden SBY belum lama ini.

Adalah bukan rahasia lagi bahwa pemerintah SBY-JK itu adalah penerus dari rezim orde baru, yang secara populer kita sebaut pemerinhah orde baru jilit ke dua. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pemerintah SBY-Jk itu dapat di ibaratkan sebagai boneka yang jalannya dikendalikan oleh kekuatan „Invisible hands", dan kekuatan inilah yang sebenarnya memerintah negeri ini. Oleh karena itu jangan heran jika kasus pelanggaran berat HAM, misalnya kasus Munir pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Karena pembongkaran kasus Munir berarti menyingkap tabir asap yang menyelimuti semua pelanggaran berat HAM yang terjadi di NKRI ini.

Kekuatan "Invisible hands" yang mengendalikan kekuasaan politik di NKRI dengan sendirinya tak akan sudi melihat tekat rakyat Indonesia untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok revolusi Agustus 1945, untuk menuju Indonesia yang Berdikari, memberdayakan seluruh hasil kekayaan alamnya demi kesejahteraan seluruh rakyatnya, bukan menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak-budak yang dijual keseluruh pelosok dunia olah pemerintah SBY-JK selama ini. Oleh karena itu pulalah , maka PBB kurang menaruh perhatian atas pelanggaran berat HAM di Indonesia, yang telah dilakukan oleh suatu rezim ciptaan Imperialisme neoliberal AS,yang mendominasi kekuatan politik di PBB. Sikap PBB seperti itulah pula yang juga menjadi sebab terjadinya krisis pemahaman terhadap HAM secara keseluruhan.

Sebagai dampak dari adanya kekuasaan Bayangan „Invisible hands", maka untuk penegakkan kebenaran dan keadilan di NKRI juga mengalami rintangan besar. Sebab para penguasa dan para penegak hukum di NKRI sekarang ini hanya mengakui kebenaran tekstuil yang ditulis oleh para interogator yang diperoleh dengan cara paksa dan penyiksaan terhadap para tertuduh, tanpa disertai oleh bukti-bukti yang sudah teruji kebenarannya, tapi hanya mengikuti kehendak dari jendral Soehartö sebagai orang nomor satu di era rezim orde baru ketika itu. Ini tercermin juga dalam tulisan LEMBAGA PEMBELA KORBAN 1965(LPK'65) yang menulis, saya kutip :

Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S. Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak hukum. Dus, kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang dinamakan negara hukum. (kutipan selesai)

Dari kutipan diatas jelas dapat dilihat bahwa pembantaian jutaan rakyat yang tak bersalah dan pembuangan ribuan rakyat ke pulau Buru dan juga penjeblosan ke penjara-penjadra diseluruh nusantara hanya berdasarkan pada rekayasa menurut kebenaran tekstual yang di buat oleh para interogator militer fasis Indonesia itu sendiri, tanpa disertai dengan bukti-bukti yang nyata. Semua perbuatan pemerintah orde baru adalah sepenuhnya untuk menyenangkan majikannya yang tak lain adalah imperialisme neoliberal AS, yang secara hakekat telah mendominasi kekuasaan politik di PBB, sehingga bisa berbuat sebagai polisi dunia.

Jika kita berkehendak untuk meluruskan penegakkan HAM sedunia, maka kita harus mempunyai strategi sebagai pisau yang bermata dua. Artinya kedalam kita tak henti-hentinya memperjuangkan untuk ditegakkannya HAM secara jujur dan keluar kita terus kritik secara keras cara kerja PBB dalam masalah HAM yang nampak diskiminatif. Jika kita berhasil menegakkan HAM di dalam negeri, maka effeknya akan memberi pengaruh pada perjuangan penegakkan HAM diseluruh dunia.

Roeslan.

P.S. Red.:
Tulisan tersebut di atas adalah tanggapan atas artikel Lembaga Pembela Korban '65 di Milis HKSIS, 17 Desember 2007, yang juga dimuat di Milis-milis: Nasional-list, Wahana-News, Perhimpunan Persaudaraan, Sastra Pembebasan dengan judul: HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (Menyambut Hari HAM Sedunia Tahun 2007)

Geen opmerkingen:

Een reactie posten